Fenomena menjamurnya lembaga simpan pinjam gelap yang bergerilya secara perorangan di kecamatan Janapria memunculkan kecurigaan Jumidin Ketua Baitul Maal Wat tamwil (BMT) Al Huda Paok Dandak, Jum’at (18/5) kemarin. Ia mengatakan, lembaga-lembaga tersebut kemungkinan hanya berkedok koperasi tapi sebenarnya rentenir yang datang mencekik warga.
Hal ini dikatakan Jumidin setelah ia curiga dengan 4 pemberi pinjaman di desa Durian ternyata tak memiliki kantor dan pemilik yang jelas.
“Saya curiga, ini bukan koperasi, karena saya tanya dimana kantornya mereka semua mengaku disuruh perorangan” Katanya. Indikasi lain yang memperkuat dugaanya adalah mekanisme peminjaman yang memberlakukan bunga tinggi sebesar 30% - 50%.
Inaq Maya, warga Desa Durian Kecamatan Janapria ini mengakui yang dikatakan Jumidin. Ia mengatakan sudah dua kali melakukan pinjaman di lembaga-lembaga gelap tersebut. Ia menceritakan, mekanisme yang harus ia penuhi, dalam pinjaman 1 juta rupiah selama 1 bulan ia diharuskan membayar bunga sebesar 30% atau 300 ribu rupiah diawal pencairan pinjaman. Diluar itu, ia juga harus mengeluarkan biaya pendaftaran sebesar 50 ribu dan uang tabungan koperasi sebesar 50 ribu. Sehingga, jika ia meminjam 1 juta dalam 1 bulan, uang tunai yang diterima hanya 600 ribu dan yang 400 ribu langsung di potong pihak pemberi pinjaman.
Hal yang sama diakui Mariani. Warga yang sehari-hari berjualan jajanan sekolah ini mengaku pernah meminjam 2 juta dalam jangka waktu 2 bulan. Untuk pinjaman ini, ia harus mengangsur setiap hari sebesar 45 ribu.
Mariani menjelaskan, lembaga tersebut di juluki warga Bank Tirok karena setiap hari mengintip warga untuk datang menagih. (Tirok bahasa sasak tengok).“Tiap hari kadang pagi atau sore dia datang bawa buku tagihan, makanya kita sebut bank tirok” kata Mariani sembari tersenyum.
Belum Punya Solusi Lain
Ahmad Jumaili, S. PdI ketua Kampung Media At Tabayyun yang juga menjadi pengurus BMT Al Huda Paok Dandak berpendapat, menjamurnya lembaga simpan pinjam perorangan yang dijuluk warga sebagai bank tirok ini dipicu oleh minimnya lembaga-lembaga keuangan didesa dan kecamatan yang bisa memfasilitasi masyarakat mendapatkan pinjaman modal.
Ditegaskannya, nyaris tidak ada lembaga apapun yang bisa memfasilitasi masyarakat dalam akses permodalan saat ini. Keberadaan Bank yang menyediakan pinjaman modal dengan bunga yang dapat dijangkau masih dirasa cukup menyulitkan karena banyak persyaratan tekhis dan administratif yang harus dipenuhi seperti harus ada usaha dan agunan atau jaminan.
Kondisi ini membuat masyarakat dalam posisi dilematis dan pilihan satu-satunya adalah bank tirok yang menawarkan kemudahan, walaupun dengan bunga yang sangat tinggi.
Ditambahkannya, selain itu sosialisasi perbankan yang sangat kurang kepada masyarakat perihal bagaimana mengakses perbankan, siapa yang bisa mengakses dan bagaimana solusinya jika tidak ada jaminan dan sebagainya membuat bank menjadi lembaga yang ekslusif di mata masyarakat.
Ia mengharapkan kedepan, pemerintah lebih proaktif lagi menjawab kesulitan masyarakat ini. Salah satunya dengan menekan lembaga-lembaga perbankan melalui kebijakan daerah sehingga masyarakat mendapatkan kemudahan dalam mengakses permodalan. [Even/TabayyuNews]
Hal ini dikatakan Jumidin setelah ia curiga dengan 4 pemberi pinjaman di desa Durian ternyata tak memiliki kantor dan pemilik yang jelas.
“Saya curiga, ini bukan koperasi, karena saya tanya dimana kantornya mereka semua mengaku disuruh perorangan” Katanya. Indikasi lain yang memperkuat dugaanya adalah mekanisme peminjaman yang memberlakukan bunga tinggi sebesar 30% - 50%.
Inaq Maya, warga Desa Durian Kecamatan Janapria ini mengakui yang dikatakan Jumidin. Ia mengatakan sudah dua kali melakukan pinjaman di lembaga-lembaga gelap tersebut. Ia menceritakan, mekanisme yang harus ia penuhi, dalam pinjaman 1 juta rupiah selama 1 bulan ia diharuskan membayar bunga sebesar 30% atau 300 ribu rupiah diawal pencairan pinjaman. Diluar itu, ia juga harus mengeluarkan biaya pendaftaran sebesar 50 ribu dan uang tabungan koperasi sebesar 50 ribu. Sehingga, jika ia meminjam 1 juta dalam 1 bulan, uang tunai yang diterima hanya 600 ribu dan yang 400 ribu langsung di potong pihak pemberi pinjaman.
“Saya sudah dua kali minjam di bank tirok, kalo pinjaman pertama kali dipotong 400 ribu dalam 1 juta, tapi kalo pinjaman kedua dipotong 300 ribu” Jelas Inaq Maya.
Hal yang sama diakui Mariani. Warga yang sehari-hari berjualan jajanan sekolah ini mengaku pernah meminjam 2 juta dalam jangka waktu 2 bulan. Untuk pinjaman ini, ia harus mengangsur setiap hari sebesar 45 ribu.
“Ke Bank tirok setiap hari saya harus bayar 45 ribu, makanya saya berhenti” katanya.
Mariani menjelaskan, lembaga tersebut di juluki warga Bank Tirok karena setiap hari mengintip warga untuk datang menagih. (Tirok bahasa sasak tengok).“Tiap hari kadang pagi atau sore dia datang bawa buku tagihan, makanya kita sebut bank tirok” kata Mariani sembari tersenyum.
Belum Punya Solusi Lain
Ahmad Jumaili, S. PdI ketua Kampung Media At Tabayyun yang juga menjadi pengurus BMT Al Huda Paok Dandak berpendapat, menjamurnya lembaga simpan pinjam perorangan yang dijuluk warga sebagai bank tirok ini dipicu oleh minimnya lembaga-lembaga keuangan didesa dan kecamatan yang bisa memfasilitasi masyarakat mendapatkan pinjaman modal.
Ditegaskannya, nyaris tidak ada lembaga apapun yang bisa memfasilitasi masyarakat dalam akses permodalan saat ini. Keberadaan Bank yang menyediakan pinjaman modal dengan bunga yang dapat dijangkau masih dirasa cukup menyulitkan karena banyak persyaratan tekhis dan administratif yang harus dipenuhi seperti harus ada usaha dan agunan atau jaminan.
Kondisi ini membuat masyarakat dalam posisi dilematis dan pilihan satu-satunya adalah bank tirok yang menawarkan kemudahan, walaupun dengan bunga yang sangat tinggi.
“Bank Tirok itu sangat mudah. Tak ada administrasi, tak ada agunan dan tak perlu memiliki sebuah usaha, asal si peminjam siap membayar angsuran tertentu setiap hari maka uang biasanya langsung mereka dicairkan” Jelas Jumaili.
Ditambahkannya, selain itu sosialisasi perbankan yang sangat kurang kepada masyarakat perihal bagaimana mengakses perbankan, siapa yang bisa mengakses dan bagaimana solusinya jika tidak ada jaminan dan sebagainya membuat bank menjadi lembaga yang ekslusif di mata masyarakat.
“Rata-rata masyarakat menganggap bank itu lembaga yang ekslusif, dianggapnya hanya orang-orang kaya yang bisa pinjam disana, hal ini wajar karena masyarakat tak terbiasa dengan formalitas”. Jelas Jumaili.
Ia mengharapkan kedepan, pemerintah lebih proaktif lagi menjawab kesulitan masyarakat ini. Salah satunya dengan menekan lembaga-lembaga perbankan melalui kebijakan daerah sehingga masyarakat mendapatkan kemudahan dalam mengakses permodalan. [Even/TabayyuNews]