Iklan

Iklan

Politik Uang dalam Pemilihan Kepala Desa

tabayyunews
Tuesday, December 4, 2012, 9:11:00 PM WIB Last Updated 2012-12-04T13:11:57Z

politik_uang_pemilihan_kepala_desa
Politik Uang dalam pemilu sepertinya masih menjadi biang keladi susahnya mencari pemimpin baik di negeri ini. Tanggal 3 Desember 2012 lalu, ketika 83 desa di Lombok tengah mengadakan pemilihan kepala desa nya, praktik politik uang begitu dominan. Beragam modus politik uang yang dijalankan mulai dari sumbangan sembako, kain sarung, semen hingga memberi warga uang dengan cara “ompol-ompol” mulai 10 ribu hingga jutaan rupiah.

Bersama kawan-kawan yang tergabung dalam Masyarakat Anti Politik Uang dan Suap (MANPUS) Lombok tengah yang mengetahui hal ini,  pada minggu (2/11) lalu, akhirnya buru-buru berteriak menyeru moral, Jangan pilih calon kades yang memberi “pemberi uang”, karena kecenderungannya pemimpin-pemimpin seperti itu pengecut dan busuk, ambil uangnya jangan pilih orangnya! Begitu kami koarkan hingga serak.  

Tapi sialnya, kami berhadapan dengan mayoritas masyarakat yang (Maaf!) masih miskin , tak berpendidikan dan tak berfikir tentang masa depannya. Pilkades bagi mereka hanya peristiwa “hujan uang” yang jarang terjadi, lima tahun sekali, bayangkan! karena itu harus dinikmati sepuas-puasnya, Calon kades akhirnya diminta uang sebanyak-banyaknya karena betapa enaknya uang 10 ribu rupiah bahkan ratusan ribu rupiah mengalir ke kantong tanpa susah-payah bekerja.

Pilkades akhirnya hanya serupa pesta yang berlangsung dalam hitungan hari, paling banter sebulan. Dan selama sebulan itulah, mereka akan membanding-bandingkan, mana calon yang memberi mereka uang paling banyak, dan itulah yang mereka anggap peduli rakyat, pemimpin yang bagus, pemimpin yang adil dan kades yang harus mereka pilih. Padahal bagi kita yang mengerti, tentu saja kondisi itu akan mengakibatkan sebaliknya.

Calon kades yang membeli suara masyarakat dengan uang seperti itu nyaris pasti akan menyalahgunakan kekuasaannya dan berupaya koruptif, kolutif dan nepotis untuk mengembalikan uang yang telah mereka habiskan saat kampanye. Resikonya, muncul ketidakadilan, transparansi dan partisipasi menjadi minim karena biasanya para kepala desa itu tak mau diusik dalam pemerintahannya yang busuk, dan itu berlangsung selama 5 tahun.

Kesejahteraan rakyat akhirnya hanya mimpi. Proyek-proyek infrastruktur yang sudah wajib ada anggaranya untuk desa seperti jalan, jembatan, saluran irigasi dan lain-lain akhirnya menjadi lahan empuk korupsi pejabat desa. Proyek-proyek itu dibangun sekenannya karena sebagian duitnya masuk kantong untuk menabung buat mengganti uang kampanye.

Dan logika inilah yang tak bisa difahami masyarakat kita. Pasca pemilihan kepala desa ada kecenderungan apriori terhadap apapun yang dilakukan pemerintahan desanya. Mau korup kek, mau nilep uang Negara kek mereka tidak mau tau dan akhirnya melanggengkan kedzoliman di struktur terkecil bangsa ini, desa.

Tapi itulah faktanya, masyarakat kita dan pemerintahan di desa sekarang sedang terjadi simbiosis mutualisme. Masyarakat miskin itu butuh uang dan calon penguasa korup itu butuh kekuasaan. Terjadilah, politik uang yang diamini rame-rame sebagai sesuatu yang biasa, “Halal” bahkan berkah.

Sebuah fakta ironis tentang perkembangan demokrasi kita. Jauh beranjak dari demokrasi rakyat yang diimpikan Ir. Hatta dan kawan-kawannya, dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Sebaliknya yang sedang terjadi dari rakyat, oleh uang dan untuk uang.

Jika ini terus berlangsung, saya tak bisa bayangkan betapa sulitnya mendapatkan pemimpin yang baik. Karena selamanya, demokrasi akan dihargakan dengan uang. Uang “Yang maha kuasa!”. Wallahu A’lam. []

Ahmad Jumaili
*Koodinator Masyarakat Anti Politik Uang dan Suap (MANPUS) Lombok Tengah
Twitter:  jhelliemaestro@gmail.com

Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • Politik Uang dalam Pemilihan Kepala Desa

Terkini

Topik Populer

Iklan