Ahmad Jumaili* |
Begitulah, dalam hidup ini kita memang harus membuat sejarah hidup yang besar, kalo tidak bisa membuat sejarah hidup yang besar, ya yang kecil-kecil saja. Karena dalam sejarah kita hanya dua pilihan, buruk atau baik. Jika baik, maka dipastikan semua orang yang masih hidup akan mengenang kita sebagai orang baik, syukur-syukur kita dibacakan fatihah atau penggal doa selepas solat fardhu. Tapi jika jelek, maka yang akan dikenang adalah kejelekan-kejelekan kita yang kemudian menjadi cemo’oh dan olok-olok, bahkan sangat mungkin menjadi kenangan pahit, menjijikkan dan membuat orang-orang hidup menyumpah serapah kita walau kita sudah tiada.
Maka sejarah hidup kita harus baik, kalo bisa jadikan sejarah hidup yang terbaik. Lalu bagaimana caranya membuat sejarah hidup terbaik? tentu saja kita mesti berlaku menjadi orang baik. Saya kira, kebaikan itu tak relatif, tapi nyaris umum, semua orang mempunyai standar yang sama atau sedikitnya mirip dalam menilai kebaikan. Kebaikan-kebaikan standar umum itulah yang saya maksud.
Menjadi orang baik memang sulit, sebab ada ambisi dan ego yang mengarahkan kita berkecenderungan berbuat tidak baik. Persisnya, dalam diri kita ada nafsu yang bersarang sehingga kerapkali mendorong kita pada buruknya perbuatan.
Ada perumpaan menarik dari A’a Gymnastiar. Kata dia, tipikal orang didunia ini persis seperti hukum fiqh, Orang Wajib, Orang Sunnah, Orang Mubah, Orang Makruh dan Orang Haram. Kata dia yang terbaik adalah menjadi Orang Wajib. Bagaimana cirinya? Orang itu penting bahkan sangat penting buat orang lain. Ketiadaannya membuat semua hal menjadi tak terlaksana. Kalo tak ada orang seperti ini, maka gagallah kegiatan, gagallah rencana-rencana yang sudah dilakukan. Orang macam ini wajib adanya dan sangat dibutuhkan orang lain.
Tipikal yang kedua yang terbaik adalah menjadi orang sunnah. Tak sampai dibutuhkan seperti orang tipikal wajib, orang sunnah membuat orang lain merasa senang. Orang-orang ini tak sampai membuat batal sebuah kegiatan atau rencana, tapi ketiadaannya sangat dirindukan. Ini juga orang yang dibutuhkan, tanpa keberadaan orang seperti ini, sesuatu menjadi garing dan tak ada gairah. Orang-orang akan berkata, "Coba kalo ada dia!"
Nah, ajal kita ini adalah rahasia Tuhan. Di fikiran kita yang muda-muda ini kerapkali terbersit, ah kita masih muda, kita masih kekar, masih tegap, masih kuat. Kita lalu menganggap seakan-akan hanya orang-orang berusia senja saja yang diambil Ajalnya. Padahal, tengoklah, anak yang baru lahir, bahkan bayi yang masih dalam kandunganpun diambil ajalnya. Pemuda-pemuda yang masih tegar dan penuh semangat itu juga banyak yang diambil ajalnya. Jadi, semua kita mestinya berhati-hati soal ajal ini, karena tuhan samasekali tak pernah memberitahu kita, kapan, dimana dan seperti apa kita akan bertemu ajal kita.
Baru lalu saya membaca kitab klasik “Majalisus Saniyah”. Syarah (penjelasan) dari kitab Imam Nawawi “Aba’in An Nawawiyah” yang dikarang Syech Bin Syech Alfasyani ini menceritakan, suatu ketika, Nabi Sulaiman sedang berada di majelis ilmu bersama para sahabatnya. Tiba-tiba, Malaikatul Maut datang dan duduk disampingnya seraya memelototi seorang pemuda diantara sahabat-sahabatnya itu.
Setelah Malaikatul Maut itu pergi, si pemuda tadi bertanya pada Nabi Sulaiman, “Siapakah barusan itu dan kenapa ia memelototi saya?”. Nabi Sulaiman menjawab “Itu Malaikatul Maut yang datang akan mencabut nyawa salah seorang diantara kalian”.
Dan, seoang pemuda yang tadi dipelototin itu langsung merasa jika dialah yang akan kena dicabut nyawanya. Karena itulah ia memohon pada Nabi Sulaiman untuk membawanya jauh agar terhindar dai Malaikatul Maut itu.
Lanjut kisah, Nabi Sulaiman lalu memerintahkan awan untuk membawa si pemuda tadi agar menjauh sejauh-jauhnya seperti yang ia minta. Pemuda itu meminta diterbangkan ke India. Tak seberapa lama, setibanya pemuda itu di India, nyawanyapun dicabut disitu. Karena memang ajal pemuda itu disitu.
Ketika Malaikatul Maut tadi balik ke majelis Nabi Sulaiman, Nabi Sulaiman bertanya, “Kenapa kamu dipelotoin si pemuda tadi?”. Malaikatul Maut menjawab, “Saya heran, di catatan saya pemuda itu tertulis mati di India sementara tadi itu saya lihat dia ada disini, saya nyaris bingung bagaimana mencabut nyawanya, tapi sekarang sudah beres, tadi dia diterbangkan awan dan saya sudah mencabut nyawanya” kata malaikat itu sinis.
Kisah yang mungkin saja konyol dan belum jelas kebenarannya, kisah ini mirip kisah-kisah isra’iliyat. Tapi yang dapat kita ambil pelajaranya adalah, ajal itu sudah ditentukan dan tak ada seorangpun yang tau dimana, kapan dan seperti apa kita menemuinya?.
Ajal masing-masing kita, bahkan semua makhluk bernyawa hanya Tuhan saja yang tau. Oke, mari kita refleksi untuk esok, kita bikin sejarah hidup kita masing-masing, tentu saja dengan sejarah hidup yang terbaik. Saya kira masih ada sisa umur kita minimal saat ini ketika anda membaca tulisan ini. Semoga kita dalam kelompok-kelompok orang yang mati dalam keadaan baik, atau bahasa agamanya Khusnul Khotimah.[]
Kamarku, 15 Juli 2012
PENULIS: Ahmad Jumaili, Mengaku Penulis, Blogger dan Pemimpi. Selain Aktif di KM Tabayyun, ia juga mengelola blog pribadinya: www.kak-jhell.com