Badan Pusat Statistik (BPS) adalah lembaga pemerintah non-Kementerian yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada presiden. Badan ini dipimpin oleh seorang kepala BPS dan memiliki kantor perwakilan tingkat provinsi dan kabupaten/kota yang masing-maisng dipimpin oleh seorang kepala BPS Provinsi dan Kepala BPS Kabupaten/Kota.[1] Sesuai Undang-Undang Nomor 16 tahun 1997 tentang Statistik, BPS memiliki peran untuk (1) menyediakan kebutuhan data bagi pemerintah dan masyarakat; (2) membantu kegiatan statistik di institusi pemerintah dan lembaga lainnya dalam mengembangkan sistem perstatistikan nasional; (3) mengembangkan dan mempromosikan teknik dan metodologi statistik dan menyediakan pelayanan pada bidang pendidikan dan pelatihan statistik dan (4) membangun kerjasama dengan institusi internasional dan negara lain untuk kepentingan perkembangan statistik Indonesia.
Dalam regulasi yang sama (Pasal 5) juga disebutkan bahwa jenis statistik sesungguhnya terbagi menjadi statistik dasar, sektoral dan khusus. Kaitannya dengan hal tersebut kewajian BPS hanyalah penyediaan statistik dasar (Pasal 11). Sementara statistik sektoral dibuat oleh instansi pemerintah sesuai lingkup tugas dan fungsinya, secara mandiri atau bersama dengan Badan. Yang harus diselenggarakan bersama badan adalah statistik sektoral yang hanya dapat diperoleh dengan cara sensus dan dengan jangkauan populasi yang berskala nasional. Disamping itu hasil statistik sektoral yang diselenggarakan sendiri oleh instansi pemerintah wajib diserahkan kepada Badan (Pasal 12). Artinya antara instansi (SKPM) dan BPS harus terjalin koordinasi kuat dalam memproduksi data.
Namun, sepanjang ini data yang dihasilkan oleh BPS senantiasa diragukan banyak pihak, dianggap tidak valid dan tidak reliable. Tidak tanggung-tanggung, anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat, Khudori menyatakan bahwa data BPS tidak dapat dijadikan sebagai alat pelaksanaan monitoring, bahkan output juga akan melenceng. Dikhawatirkan bahwa dampak yang paling merugikan justru akan dirasakan oleh masyarakat (petani). Dari hasil pengamatan, hal yang sama juga terjadi di Kabupaten Lombok Tengah. Berbagai data yang dirilis oleh BPS senantiasa menuai protes baik dari pemerintah daerah, desa maupun dari masyarakat. Akan tetapi yang tidak dapat dipungkiri dan diingkari adalah kenyataan bahwa data BPS merupakan satu-satunya data yang diakui oleh pemerintah secara resmi dan BPS bertanggungjawab langsung kepada presiden.
Silang sengketa tentang akurasi data BPS sesungguhnya sudah disediakan solusinya oleh BPS sendiri yang hingga kini belum direalisasi (khususnya di Kabupaten Lombok Tengah) yaitu dengan membentuk Forum Masyarakat Statistik yang bertugas memberikan saran dan pertimbangan di bidang statistik kepada Badan. Forum ini bersifat nonstructural dan independen, yang anggotanya terdiri atas unsur pemerintah, pakar, praktisi dan tokoh masyarakat (Pasal 29).
Dalam konteks pembangunan pendidikan, data merupakan hal yang sangat urgen adanya. Dalam setiap program dan kegiatan yang direncanakan, diselenggarakan dan dimonitoring serta evaluasi tidak dapat dilepaskan dari data. Dalam hal ini data yang dihasilkan dapat dijadikan sebagai dasar dalam mengambil keputusan terhadap program dan kegiatan yang dilakukan. Melalui data, capaian pembangunan pendidikan beserta dinamika di dalamnya juga dapat digambarkan secara kaffah. Hanya saja, untuk maksud tersebut dibutuhkan keterampilan dalam memproduksi dan membaca data, sehingga manfaat data dapat dirasakan secara maksimal.
DINAMIKA PENDIDIKAN LOMBOK TENGAH
Capain pendidikan di Kabupaten Lombok Tengah dianggap minim jika dibandingkan dengan kabupaten/kota lain di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Banyak hal yang dijadikan sebagai indikator yang memperkuat justifikasi tersebut. Dalam RPJPD dan RPJMD Lombok Tengah hal tersebut diuraikan sebagai berikut (1) masih ada warga masyarakat yang belum mendapatkan pelayanan pendidikan; (2) rendahnya APM (Angka Partisipasi Murni) dan APK (Angka Partisipasi Kasar); (3) prestasi, kreativitas siswa, sarana dan prasarana pendidikan serta kualitas pengelolaan sekolah rendah; (4) banyak guru belum sesuai kualifikasi, kompetensi dan belum semua sekolah melaksanakan pengembangan kurikulum; (5) belum semua jenjang pendidikan terakreditasi dan melaksanakan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS); (6) kurangnya minat baca siswa; (7) rata-rata lama sekolah masih level SD dan (8) tingginya angka droup out pada jenjang pendidikan dasar.
Disisi lain program dan kegiatan yang mendukung pencapaian dan maksimalisasi kondisi di atas tidak benar-benar maksimal dilakukan. Terdapat banyak faktor pendukung, salah satunya adalah basis data yang dipergunakan tidak sepenuhnya menggambarkan realitas pendidikan yang sesungguhnya di Kabupaten Lombok Tengah.
Tabel 1
Perkembangan Jumlah Sekolah di Kabupaten Lombok Tengah 2004-2013
Sumber: Daerah Dalam Angka Kabupaten Lombok Tengah, 2004-2013
Sepintas, gambaran yang diperoleh dari tabel 1 di atas, menunjukkan bahwa pertumbuhan jumlah sekolah di Kabupaten Lombok Tengah dari tahun 2004-2013 cukup baik. Sebagian besar jenjang pendidikan menunjukkan trend positif, kecuali SMP terbuka. Jenjang pendidikan TK menunjukkan dinamika yang cukup fluktuatif dan patut dicermati lebih lanjut. Pada tahun pelajaran 2010-2011 jumlah sekolah pada jenjang TK mengalami perubahan jumlah (+) yang cukup signifikan, dari 199 sekolah menjadi 316. Artinya, perkembangan jumlah TK dalam satu tahun cukup fantastis yaitu bertambah 117 sekolah. Kondisi yang sama terjadi namun dalam tema yang berlawanan (-) pada tahun berikutnya dari 2011-2012 mengalami penurunan jumlah sekolah sebanyak 55 TK (316-261=55). Pada jenjang yang sama untuk lembaga yang bernaung di bawah Depag (RA), ternyata pertumbuhannya sangat minim. Tahun 2011-2012 hanya bertambah 17 sekolah, pada daerah yang memiliki 139 desa/kelurahan. Sementara untuk jenjang SD dan SMA mengalami stagnan. Jumlah SMA tidak bertambah dalam 4 tahun terakhir.
Belum ada penjelasan real dan resmi dari BPS maupun dinas/SKPM yang menangani masalah pendidikan kaitannya dengan dinamika pertumbuhan sekolah dimaksud. Tidak ada juga rincian pasti tentang nama dan lokasi lembaga pendidikan yang bertambah-berkurang tersebut. Yang jelas, dengan jumlah sekolah yang cukup banyak tersebut, prestasi IPM Lombok Tengah tetap berada di urutan 9 dari seluruh kabupaten/kota di Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Memperhatikan data tersebut, seharusnya ada follow up dari pemerintah daerah melalui SKPM untuk melihat secara langsung jumlah tambahan yang sangat fenomenal 117 sekolah dalam satu tahun. Dan pengurangan jumlah sekolah yang cukup ekstrim tersebut (55). Dengan demikian dapat dipahami (setidaknya salah satu) faktor pendorong dan penghambat penyelenggaraan pendidikan pada jenjang TK kaitannya dengan kepemilikan prasarana belajar. Di sisi lain, keberadaan BPS sebagai institusi pembuat dan penyedia data di Kabupaten Lombok Tengah, seharusnya menjalin koordinasi dan melakukan klarifikasi ke Pemerintah Daerah (melalui SKPD) jika terdapat hasil pendataan yang ekstrim, sehingga dapat ditemukan penyebab terjadinya dan diupayakan solusinya.
Disisi lain, pemerintah juga harus mempertegas pemberlakukan syarat pendirian sebuah lembaga pendidikan (semua jenjang). Perkembangan dewasa ini di Kabupaten Lombok Tengah jumlah lembaga pendidikan tumbuh dengan pesat (terutama sekolah swasta yang berada dalam naungan Depag). Dalam satu aspek, keberadaan lembaga pendidikan tersebut pada beberapa lokasi memang sangat diharapkan masyarakat, namun pada beberapa tempat yang lain kondisinya seperti “dipaksakan” sehingga keberadaan lembaga pendidikan dirawat dan diurus seadanya. Hal ini justru akan berdampak “tidak baik” bagi perkembangan dunia pendidikan secara umum dalam aspek kualitas meski tidak dapat dipungkiri cukup menunjang pencapaian dalam aspek kuantitas. Gambaran ini juga didukung dengan masih adanya beberapa lembaga pendidikan yang berkembang di masyarakat yang hingga kini masih belum memiliki ijin operasional.
Pertumbuhan jumlah sekolah yang menunjukkan trend meningkat di atas tidak berjalan linier dengan pertumbuhan jumlah siswa. Pertumbuhan jumlah siswa justru menunjukkan trend negatif secara umum. Sepintas, hal ini akan menimbulkan asumsi bahwa ada beberapa sekolah yang tidak memiliki atau memiliki siswa dalam jumlah yang minim. Di bawah terdapat data pertumbuhan jumlah siswa selama 9 tahun berdasarkan data BPS Lombok Tengah (Tabel 2).
Jika data pada tabel 1 dan 2 dikomparasi, akan terlihat indikasi mismatch data. Kondisi tersebut ditunjukkan pada jenjang pendidikan TK/RA (1) tahun 2010-2011 jumlah sekolah TK bertambah 117 unit sementara pada tahun sama jumlah siswa TK berkurang 1074 orang; (2) tahun 2011-2012 jumlah sekolah TK berkurang 55 unit demikian juga dengan jumlah siswa yang berkurag 442 orang. Jika seluruh lembaga pendidikan diposisikan homogen, maka secara agregat tidak terdapat penambahan jumlah siswa atau bisa jadi berkurangnya jumlah sekolah TK disebabkan karena ketiadaan siswa. Hal ini kontradiktif dengan perkembangan RA yang menunjukkan peningkatan baik dari aspek jumlah sekolah maupun jumlah siswa meskipun tidak signifikan.
Tabel 2
Perkembangan Jumlah Siswa di Kabupaten Lombok Tengah tahun 2011-2013
Sumber: Daerah Dalam Angka Kabupaten Lombok Tengah, 2004-2013
Mismatch data juga ditunjukkan pada jenjang pendidikan SD/MI. Jumlah sekolah SD tahun 2010-2011 tidak bertambah, sedangkan jumlah MI bertambah sebanyak 7 unit. Sementara tahun sebelumnya perbedaan pertumbuhan jumlah sekolah juga cukup signifikan, SD bertambah 2 unit sedangkan MI bertambah 17 unit. Namun, pertumbuhan tersebut kontras dengan kondisi siswa. Pada tahun 2010-2011 terjadi pengurangan jumlah siswa SD sebanyak 2394 orang dan tahun 2011-2012 juga berkurang 2067. Sedangkan untuk MI, yang tahun 2010-2011 jumlah sekolahnya bertambah 2 unit justru jumlah siswa bertambah hingga 5200 orang. Sedangkan pada tahun 2011-2012 dengan jumlah sekolah MI yang bertambah 17 unit, justru jumlah siwa berkurang 2250 orang.
Angka pada data tersebut akan semakin menunjukkan kontradiksinya jika dikomparasi lagi dengan jumlah penduduk Kabupaten Lombok Tengah pada tahun 2012 yang usianya berkisar dari 05-14 tahun (usia TK/RA-SD/MI) yaitu 173.371 orang. Sedangkan jumlah siswa pada tahun 2012 pada jenjang pendidikan TK/RA dan SD/MI berdasarkan data sebanyak 133.513 orang. Jika dikalkulasikan secara sederhana maka pada tahun 2012 terdapat 39.858 orang anak yang berusia sekitar 5-14 tahun yang tidak bersekolah. Dalam perspektif perbandingan geografi dan demograsi maka dalam 1 kecamatan terdapat setidaknya 3.321 orang anak yang tidak bersekolah. Dengan demikian, jika dibanding jumlah desa/kelurahan yang ada, setidaknya terdapat 287 orang anak yang tidak bersekolah pada masing-masing desa/kelurahan di Kabupaten Lombok Tengah. Tentu jumlah ini sangat fantastic, mengingat Lombok Tengah sudah ditetapkan sebagai daerah yang tuntas Wajib Belajar 9 tahun. Termasuk sebagian besar desa yang sudah ditetapkan sebagai desa cerdas oleh program PNPM GSC (Generasi Sehat dan Cerdas), dengan salah satu indikator yaitu tidak ada anak usia sekolah yang tidak bersekolah.
Seharusnya, pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi di Kabupaten Lombok Tengah dari tahun ke tahun akan melahirkan dampak sistemik terutama terhadap peningkatan jumlah penduduk muda yang akan mempengaruhi pertumbuhan jumlah peserta belajar (siswa). Fenomena yang sebaliknya yang ditunjukkan pada data ini mengandung indikasi bahwa Lombok Tengah belum berhasil mengembangkan pendidikan baik dalam sisi kualitas maupun kuantitas.
Gambaran perpaduan data di atas dapat dilengkapi dengan perkembangan jumlah kelas. Bagaimanapun juga perkembangan jumlah siswa dan sekolah akan diikuti oleh perkembangan jumlah kelas, sehingga proses pembelajaran menjadi maksimal dengan harapan bahwa jumlah kelas dan siswa dapat menjadi lebih proporsioal. Perkembangan jumlah kelas dimaksud untuk Kabupaten Lombok Tengah dalam kurun waktu tiga tahun terakhir dapat diperhatikan pada grafik di bawah. Data termutakhir yang diperoleh masih mencerminkan kondisi pada tahun 2012 (berdasarkan Daerah Dalam Angka tahun 2013), mengingat data dan kondisi real tahun 2013 belum dirillis oleh BPS Lombok Tengah.
Grafik 1
Perkembangan Jumlah Kelas per Jenjang Pendidikan tahun 2010-2013
Sumber: Daerah Dalam Angka Kabupaten Lombok Tengah, 2010-2012
Pertumbuhan jumlah kelas yang cukup tinggi pada tahun 2010-2011 terjadi untuk jenjang pendidikan MI (758), MTs (187), RA (138) dan MA (118). Jumlah kelas yang berkurang berdasarkan data diperlihatkan pada TK (-19) dan SD (-6). Sementara perkembangan kelas untuk jenjang pendidikan SLTP (81), SMU (42) dan SMK (23) relative stabil. Untuk sekolah SLTP terbuka tidak dicantumkan data perubahannya karena penyelenggaraan jenis pendidikan ini dilakukan dengan menumpang pada sekolah induk (sekolah reguler/biasanya SLTP Negeri). Sedangkan pada tahun 2011-2012 pertumbuhan kelas yang tinggi berada pada jenjang pendidikan SLTP (33), SMK (17) dan SMU (16). Untuk jenjang pendidikan RA, MI, MTs dan MA justru tidak ada penambahan jumlah kelas sama sekali dan justru pada jenjang pendidikan TK berkurang 15 kelas pada tahun 2012 dan 91 kelas pada tahun 2011, artinya dalam kurun waktu dari 2010-2012 untuk kelas TK telah berkurang sebanyak 106 kelas.
Data lain yang perlu diamati dalam meliat perkembangan pendidikan adalah perkembangan jumlah rombongan belajar. Dengan memperhatikan grafik 2 dapat diketahui bahwa perkembangan jumlah rombongan belajar yang cukup tinggi terjadi pada tahun 2010-2012, sementara tahun 2011-2012 tidak menunjukkan perkembangan signifikan, bahkan cenderung ekstrim dan menurun. Jumlah rombongan belajar terbanyak pada tahun 2012 adalah SD (3710 Rombel), MI (1494 Rombel), MTs (967 Rombel) dan SLTP (866 Rombel).
Grafik 2
Perkembangan Jumlah Rombongan Belajar per Jenjang Pendidikan tahun 2010-2013
Sumber: Daerah Dalam Angka Kabupaten Lombok Tengah, 2010-2012
Penambahan jumlah rombongan belajar pada tahun 2010-2011 yang paling tinggi ditunjukkan pada sekolah MI (bertambah sebanyak 758 Rombel), sementara pada tahun berikutnya tidak ada penambahan sama sekali. Untuk masa waktu yang sama pada TK bertambah 236 Rombel, ironisnya pada tahun berikut (2011-2012) jumlah rombelnya berkurang 243 (minus). Artinya, dalam rentang waktu 2010-2012 jumlah rombongan belajar di TK berkurang 7 rombel. Data lain yang perlu dicermati adalah perkembangan jumlah rombongan belajar di jenjang pendidikan SMU. Pada tahun 2020-2011 jumlah rombongan beajar di SMU berkurang 6 rombel dan bertambah 12 Rombel, sehingga sejatinya pada 3 tahun terakhir jumlah rombongan belajar di SMU hanya bertambah 6 Rombel. Sementara itu, untuk jenis pendidikan RA, MI, MTs dan MA pada tahun 2011-2012 tidak bertambah satu pun, kondisi ini berbeda dengan keadaan pada tahun sebelumnya. Pada tahun 2010-2011 perkembangan rombongan belajar pada jenjang pendidikan tersebut cukup tinggi (RA bertambah 109, MI 758, MTs 187 dan MA 118). Artinya, lembaga pendidikan di bawah naungan Depag tidak menunjukkan perkembangan Rombel.
Finally, jika data dielaborasi satu-peratu dan disesuaikan dengan kondisi perkembangan siswa (tabel 1), perkembangan jumlah sekolah (tabel 2), perkembangan jumlah kelas (grafik 1) dan pertumbuhan jumlah rombongan belajar (grafik 2)[2] menunjukkan kerancuan yang cukup fatal bagi pembangunan dunia pendidikan, mengingat satu-satunya data yang dipercaya dan digunakan pemerintah sebagai basis data dalam pembangunan adalah data BPS.
Gambaran perkembangan jumlah sekolah TK dari tahun 2010 sebanyak 199, 2011 (316) dan tahun 2012 (261). Artinya, pada tahun 2010-2011 terjadi peningkatan jumlah sekolah sebanyak 177 sekolah, namun kondisi siswa menunjukkan adanya penurunan sebanyak 1074 orang siswa, jumlah kelas berkurang sebanyak 91 dan jumlah rombongan belajar bertambah 236 Rombel. Kondisi data ini patut diragukan. Logikanya, peningkatan jumlah sekolah (hingga ratusan) otomatis akan diiringi dengan peningkatan jumlah kelas yang juga signifikan (jumlah kelas justru berkurang). Sangat tidak mungkin jumlah sekolah meningkat, namun jumlah kelas berkurang. Disisi lain, hal tersebut juga akan berdampak pada peningkatan jumlah siswa, mengingat salah satu alasan utama pembangunan sekolah baru adalah untuk menanggulangi kelebihan jumlah siswa yang ditampung pada masing-masing kelas. Konsekuensinya, otomatis akan menambah jumlah rombongan belajar. Kenyataannya, pada data terjadi penurunan jumlah siswa (1074 orang), sementara jumlah rombongan belajar meningkat sebanyak 236 Rombel.
Pada tahun pelajaran 2011-2012 terjadi penurunan jumlah TK sebanyak 55 unit yang diikuti dengan penurunan jumlah siswa sebanyak 442 orang. Disamping itu terjadi penurunan jumlah kelas sebanyak 15 dan pengurangan 243 rombongan belajar. Dalam kerangka logis, angka ini mencerminkan hasil pendataan yang tidak serius. Bagaimana mungkin pengurangan 243 rombongan belajar setara dengan penurunan 442 orang siswa, yang artinya jika diambil rerata-nya satu rombongan belajar paling tidak terdiri dari 2 orang anak. Ironis!! Dalam konteks sama, penurunan jumlah 55 unit TK tidak sebanding dengan penurunan jumlah ruang kelas yang hanya turun sebanyak 15 kelas. Hal yang dilupakan pemerintah daerah (SKPD) adalah menelusuri kondisi real data, mencari tahu “hal/faktor” yang mempengaruhi pertumbuhan dan penurunan jumlah lembaga pendidikan TK yang ada di Kabupaten Lombok Tengah. Hal ini perlu dilakukan untuk melihat secara pasti keberadaan lembaga pendidikan yang merupakan basis pendidikan formal bagi generasi Lombok Tengah.
Jumlah sekolah SD pada tahun 2010 sebanyak 588, 2011 (590) dan 2012 sebanyak 590. Dari angka ini dketahui bahwa jumlah SD dari tahun 2010-2012 hanya bertambah 2 buah sekolah. Pada tahun 2010-2011 saat jumlah SD bertambah, justru terjadi penurunan jumlah siswa sebanyak 2394 orang, disertai dengan pengurangan 6 ruang kelas dan justru terjadi penambahan 62 rombongan belajar. Sesuatu yang sangat impossible jika dengan bertambahnya 2 buah SD dengan pengurangan 6 ruang kelas, terdapat penambahan 62 rombongan belajar. Sementara pada tahun 2011-2012 tidak terjadi penambahan jumlah sekolah (tetap 590 unit), namun jumlah siswa berkurang sebanyak 2067 orang, tidak ada penambahan ruang kelas baru dan rombongan belajar bertambah 55 Rombel.
Penurunan jumlah siswa SD dari tahun ke tahun sejak tahun 2009 seharusnya mendapat perhatian serius dari pemerintah terutama jika kondisi ini dikaitkan dengan jumlah dan angka kelahiran yang meningkat dari tahun ke tahun. Artinya, sangat kecil peluang terjadinya penurunan jumlah siswa SD kecuali jika banyak anak usia sekolah dasar yang tidak bersekolah yang artinya, Lombok Tengah belum tuntas pendidikan dasar.
Jenjang pendidikan dasar berikut setelah SD adalah SMP yang jumlah sekolahnya di Kabupaten Lombok Tengah terdiri dari 108 unit pada tahun 2010, 107 pada tahun 2011 dan meningkat menjadi 125 pada tahun 2012. Dinamika SLTP pada tahun 2010-2011 diwarnai dengan penambahan 1 unit sekolah, penurunan 1192 orang siswa, penambahan 81 ruang kelas dan 23 rombongan belajar. Sementara pada tahun 2011-2012 terjadi penambahan 18 unit sekolah, penambahan 340 orang siswa, 33 ruang kelas serta dan 36 rombongan belajar.
Memperhatikan angka tersebut, patut dicermati lebih lanjut faktor peningkatan jumlah SLTP yang cukup tinggi (18) unit, yang artinya jika di-reratakan terjadi penambahan SLTP masing-masing 1 unit (lebih) di tiap-tiap kecamatan di Kabupaten Lombok Tengah.[3]
Pemaparan di atas secara sistematis mengantar pada proposisi bahwa (1) perkembangan kondisi pendidikan (jumlah siswa, jumlah sekolah, jumlah ruang kelas dan rombongan belajar) tidak match dan tidak saling mendukung satu dengan yang lain dan cenderung tidak kontekstual; (2) perkembangan data pada tahun tertentu cenderung ekstrim jika disandingkan data antar-variabel disandingkan; (3) pemerintah daerah dan SKPM Pendidikan Pemuda dan Olahraga tidak apresiatif dan jarang (atau tidak pernah) melakukan diagnose terhadap data yang dirilis oleh BPS; (4) tidak dilakukannya diagnose pada data berimplikasi pada tidak adanya klarifiksi oleh pihak berkompeten, dalam hal ini daerah (maupun SKPD) untuk mengetahui faktor yang mempengaruhinya; (5) tidak ada sinkronisasi data antara BPS dengan SKPD (Dikpora) dan (6) tingkat koordinasi yang dibangun Pemerintah Daerah, SKPM Dikpora dan BPS dalam konteks data pendidikan masih minim.
Dengan kondisi ini maka selanjutnya akan berimplikasi terhadap (1) tidak teraturnya data perkembangan pendidikan Kabupaten Lombok Tengah; (2) data yang dipergunakan sebagai acuan pengembangan pendidikan tidak valid; (3) rancunya fokus pembangunan pendidikan; (4) tidak terpetakannya kondisi real dunia pendidikan; (5) pada akhirnya akan berdampak pada rendahnya kualitas pendidikan secara umum di Kabupaten Lombok Tengah.
REKOMENDASI
Untuk itu maka disarankan kepada pihak yang berwenang (BPS) agar dalam melakukan pendataan diupayakan secara terintegrasi dan terstruktur dari tingkat desa-kabupaten. Data dapat diperoleh pada pemerintah desa, yang sebelumnya diberikan penguatan kapasitas oleh BPS berdasarkan metode dan teknik pendataan yang dikehendaki. Dalam konteks yang sama BPS juga dapat berkerjasama dengan SKPD untuk menghasilkan data yang valid dan reliable. Kepada Pemerintah Daerah Lombok Tengah (bersama SKPD) agar apresiatif dan agresif dalam menyikapi data yang dirilis oleh BPS. Dinamika yang terjadi setiap tahun harus difahami faktor penyebab terjadinya perubahan. Dengan intervensi seperti ini maka pemerintah dapat memahami secara kaffah gambaran dan dinamika pendidikan yang terjadi di daerahnya secara kaffah. Alhasil, perencanaan dan penganggaran urusan pendidikan dalam konteks mensejahterakan kehidupan masyarakat melalui peningkatan kualitas pendidikan akan dapat dilakukan dengan maksimal, terfokus dan tepat sasaran. Artinya, dengan sendirinya target pendidikan yang tercantum dalam RPJMD akan tercapai.
Untuk maksud tersebut, TKPKD Kabupaten Lombok Tengah sebagai salah satu institusi yang merupakan kolaborasi pemerintah daerah dan multi-stakeholderi dapat dijadikan sebagai salah satu mitra aktif bagi BPS dan Dikpora dalam hal data, implementasi program dan kegiatan termasuk dalam melakukan monitoring dan evaluasi. Kolaborasi ini diyakini akan semakin kuat mengingat dalam TKPKD, BPS dan Dikpora merupakan Kelompok Kerja dengan peran yang sangat penting dalam konteks kesejahteraan masyarakat. Faktor lain yang cukup mendukung adalah keberadaan PRC dalam tubuh TKPKD Lombok Tengah yang berperan sebagai resourches center bagi TKPKD. Intinya, dalam membangun data yang merupakan landads pijak pembangunan Lombok Tengah seutuhnya dibutuhkan kolaborasi berbagai pihak agar data yang dihasilkan padu. Dalam konteks Lombok Tengah dengan dinamika data yang sangat fluktuatif dan beraneka ragam (berbeda masing-maisng SKPD dan BPS) maka perlu kiranya dibentuk satu lembaga yaitu forum data. Forum dimaksud dapat beranggotakan berbagai pihak dengan tugas utama berkolaborasi untuk membentuk satu data yang terintegrasi dan agar lebih maksimal dapat diperkuat dengan Peraturan Bupati atau regulasi yang lain yang bersifat mengikat. Di tingkat desa, forum data dimaksud dapat diintegrasikan pada Lempermadu. Di sisi lain, forum data juga dapat dijadikan sebagai institusi yang akan memberikan support data secara simultan tentang Lombok Tengah kepada Bale ITE yang berada di tingkat Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Semoga !!!
[1] BPS. Reformasi Birokrasi Badan Pusat Statistik: Upaya dan Capaian 2010-2014 (Jakarta: BPS, 2004), h. 2.
[2] Khusus untuk data tahun 2010-2012
[3] Selanjutnya, pembaca dapat melakukan analisis sendiri berdasarkan data yang sudah ditampilan pada tabel dan grafik yang tersajikan.
RESOURCE : PRC LOTENG