Sepuluh Muharram termasuk hari paling bersejarah bagi penganut agama samawi, khususnya Islam. Pada hari itu, Nabi Adam diterima pertobatannya oleh Allah SWT; kapal Nabi Nuh terdampar di daratan; Nabi Yusuf dikeluarkan dari sumur; Nabi Yunus keluar dari perut ikan; Nabi ‘Isa lahir pada sepuluh Muharram; dan Nabi Musa diselamatkan dari kejaran pasukan Fir’aun juga pada tanggal sepuluh Muharram.
Seluruh kejadian fenomenal ini disebutkan oleh Ibnu Bathal di dalam kitab Syarah Shahih Al-Bukhari.
Maka dari itu, ketika Rasulullah SAW berada di Madinah, Beliau mendapati seorang Yahudi sedang berpuasa. Nabi bertanya, “Puasa apa yang kamu lakukan ini? Mereka menjawab, “Pada hari ini Allah SWT menyelamatkan Musa dan menenggelamkan Fir’aun. Akhirnya Nabi Musa puasa pada hari itu sebagai bentuk rasa syukur.” Mendengar jawaban ini, Nabi berkata:
نحن أحق بموسى منكم، فصامه وأمر بصيامه
Artinya, “Kami lebih berhak atas puasa Musa daripada kalian." Nabi Muhammad SAW kemudian berpuasa dan memerintahkan umat Islam untuk puasa,” (HR Ibnu Majah).
Badruddin Al-‘Ayni dalam Umdatul Qari mengatakan, menurut madzhab Hanafi, puasa Muharram termasuk puasa wajib pada awalnya. Kemudian hukum wajib tersebut dihapus setelah adanya perintah wajib puasa Ramadhan. Pada waktu umat Islam diwajibkan mengerjakan puasa Ramadhan, maka status hukum puasa ‘Asyura berubah menjadi sunah. Kendati ulama menyepakati kesunahan puasa ‘Asyura, mereka berbeda pendapat terkait waktu pelaksanaan puasa ‘Asyura itu sendiri. Ada yang mengatakan sembilan dan ada pula yang mengatakan sepuluh Muharram. Perbedaan ini didasarkan pada variasi riwayat terkait puasa ‘Asyura.
Untuk menengahi perbedaan tersebut, maka puasa ‘Asyura dapat dibagi menjadi tiga tingkatan: Pertama, mengerjakan puasa dari tanggal sembilan sampai sebelas Muharram; kedua, puasa pada tanggal sembilan dan sepuluh Muharram; ketiga, puasa tanggal sepuluh Muharram saja. Pembagian ini sebagaimana dijelaskan Al-Mubarakfuri dalam Tuhfatul Ahwadzi.
Pendapat ulama yang menganjurkan puasa sebelum dan sesudah sepuluh Muharram berdasarkan hadits dari Ibnu Abbas bahwa Nabi SAW berkata:
صوموا يوم عاشوراء وخالفوا فيه اليهود وصوموا قبله يوما أو بعده يوما
Artinya, “Puasalah kalian pada hari Asyura dan berbedalah dengan orang Yahudi. Kerjakan puasa dari satu hari sebelumnya sampai satu hari sesudahnya,” (HR Ahmad).
Hadits ini menunjukkan bahwa yang dimaksud ‘Asyura itu adalah sepuluh Muharram, bukan sembilan Muharram. Akan tetapi, Nabi Muhammad SAW meminta pelaksanaan puasanya menjadi tiga hari, yaitu dari tanggal sembilan sampai sebelas. Dalam riwayat lain disebutkan, Nabi berencana puasa tanggal sembilan Muharram, namun Beliau sudah wafat sebelum menunaikan niat itu.
Penjelasan ini dapat dipahami bahwa ulama menyepakati kesunahan puasa ‘Asyura. Bahkan dianggap sebagai puasa yang paling utama setelah Ramadhan. Akan tetapi, lebih disunahkan lagi mengerjakannya mulai dari tanggal sembilan hingga sebelas. Kalaupun tidak mampu melaksanakan tiga hari, diperbolehkan puasa khusus pada tanggal sepuluh Muharram tersebut. Wallahu a'lam. (Hengki Ferdiansyah)
Seluruh kejadian fenomenal ini disebutkan oleh Ibnu Bathal di dalam kitab Syarah Shahih Al-Bukhari.
Maka dari itu, ketika Rasulullah SAW berada di Madinah, Beliau mendapati seorang Yahudi sedang berpuasa. Nabi bertanya, “Puasa apa yang kamu lakukan ini? Mereka menjawab, “Pada hari ini Allah SWT menyelamatkan Musa dan menenggelamkan Fir’aun. Akhirnya Nabi Musa puasa pada hari itu sebagai bentuk rasa syukur.” Mendengar jawaban ini, Nabi berkata:
نحن أحق بموسى منكم، فصامه وأمر بصيامه
Artinya, “Kami lebih berhak atas puasa Musa daripada kalian." Nabi Muhammad SAW kemudian berpuasa dan memerintahkan umat Islam untuk puasa,” (HR Ibnu Majah).
Badruddin Al-‘Ayni dalam Umdatul Qari mengatakan, menurut madzhab Hanafi, puasa Muharram termasuk puasa wajib pada awalnya. Kemudian hukum wajib tersebut dihapus setelah adanya perintah wajib puasa Ramadhan. Pada waktu umat Islam diwajibkan mengerjakan puasa Ramadhan, maka status hukum puasa ‘Asyura berubah menjadi sunah. Kendati ulama menyepakati kesunahan puasa ‘Asyura, mereka berbeda pendapat terkait waktu pelaksanaan puasa ‘Asyura itu sendiri. Ada yang mengatakan sembilan dan ada pula yang mengatakan sepuluh Muharram. Perbedaan ini didasarkan pada variasi riwayat terkait puasa ‘Asyura.
Untuk menengahi perbedaan tersebut, maka puasa ‘Asyura dapat dibagi menjadi tiga tingkatan: Pertama, mengerjakan puasa dari tanggal sembilan sampai sebelas Muharram; kedua, puasa pada tanggal sembilan dan sepuluh Muharram; ketiga, puasa tanggal sepuluh Muharram saja. Pembagian ini sebagaimana dijelaskan Al-Mubarakfuri dalam Tuhfatul Ahwadzi.
Pendapat ulama yang menganjurkan puasa sebelum dan sesudah sepuluh Muharram berdasarkan hadits dari Ibnu Abbas bahwa Nabi SAW berkata:
صوموا يوم عاشوراء وخالفوا فيه اليهود وصوموا قبله يوما أو بعده يوما
Artinya, “Puasalah kalian pada hari Asyura dan berbedalah dengan orang Yahudi. Kerjakan puasa dari satu hari sebelumnya sampai satu hari sesudahnya,” (HR Ahmad).
Hadits ini menunjukkan bahwa yang dimaksud ‘Asyura itu adalah sepuluh Muharram, bukan sembilan Muharram. Akan tetapi, Nabi Muhammad SAW meminta pelaksanaan puasanya menjadi tiga hari, yaitu dari tanggal sembilan sampai sebelas. Dalam riwayat lain disebutkan, Nabi berencana puasa tanggal sembilan Muharram, namun Beliau sudah wafat sebelum menunaikan niat itu.
Penjelasan ini dapat dipahami bahwa ulama menyepakati kesunahan puasa ‘Asyura. Bahkan dianggap sebagai puasa yang paling utama setelah Ramadhan. Akan tetapi, lebih disunahkan lagi mengerjakannya mulai dari tanggal sembilan hingga sebelas. Kalaupun tidak mampu melaksanakan tiga hari, diperbolehkan puasa khusus pada tanggal sepuluh Muharram tersebut. Wallahu a'lam. (Hengki Ferdiansyah)
Sumber www.islamsantri.com