Hal ini dikatakan Ahmad Jumaili salah seorang Pimpinan Yayasan Pondok Pesantren Sirajul Huda Paok Dandak kepada Kamis (10/8).
Jumaili menyebut ngaji sorogan atau mengaji kitab kuning langsung ke kiai atau tuan guru di pesantren adalah roh dari sistem pendidikan di pesantren.
"Ngaji sorogan ini biasanya dilakukan para santri setiap selesai shalat fardhu terutama setelah shalat ashar dan shalat isya setiap hari," jelas Alumni Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah Situbondo ini.
Jika FDS ini diterapkan, dapat dipastikan para santri yang bersekolah formal di pesantren akan kehilangan waktu-waktu sorogan. Padahal inilah waktu emas yang dimiliki santri untuk bertatap langsung dengan kiainya.
"Santri itu tidak sekadar menimba ilmu ke kiainya tapi juga menimba berkah karena kami percaya menatap wajah guru yang alim itu besar sekali pahalanya," jelasnya.
Kebijakan FDS ini juga dikatakan Jumaili sebagai bentuk kegagalan paham Mendikbud Muhajir atas kondisi pendidikan di pedesaan.
Pendidikan di desa dan di kota kondisinya sangat jauh berbeda baik dari segi fasilitas, keadaan orang tua siswa maupun psikologi anak didiknya.
"Sekolah-sekolah di desa rata-minim fasilitas, lapangan olahraga saja tidak punya, apalagi kantin, terus di mana mereka makan, di mana mereka habiskan waktu sampai jam 4 sore?" katanya dengan nada tanya.
"Begitu juga orang tua atau wali siswa yang rata-rata bekerja sebagai petani atau nelayan. Bagi petani dan nelayan, hari kerja itu dari Senin sampai Senin lagi, tentu berbeda dengan pegawai negeri sipil yang punya hari libur segala," jelasnya.
Anak-anak di desa usai sekolah bukan main-main seperti yang dikhawatirkan Muhadjir, tetapi justru kesempatan itu digunakan untuk membantu orang tua mereka bekerja.
"Jika alasanya 5 hari sekolah agar anak dan orang tua ada kesempatan bertemu, itu hanya cocok di anak-anak kota, anak anak desa justru bertemu setiap saat dengan orang tuanya, bahkan membantu orang tuanya bekerja," urainya
Jumaili menyebut ngaji sorogan atau mengaji kitab kuning langsung ke kiai atau tuan guru di pesantren adalah roh dari sistem pendidikan di pesantren.
"Ngaji sorogan ini biasanya dilakukan para santri setiap selesai shalat fardhu terutama setelah shalat ashar dan shalat isya setiap hari," jelas Alumni Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah Situbondo ini.
Jika FDS ini diterapkan, dapat dipastikan para santri yang bersekolah formal di pesantren akan kehilangan waktu-waktu sorogan. Padahal inilah waktu emas yang dimiliki santri untuk bertatap langsung dengan kiainya.
"Santri itu tidak sekadar menimba ilmu ke kiainya tapi juga menimba berkah karena kami percaya menatap wajah guru yang alim itu besar sekali pahalanya," jelasnya.
Kebijakan FDS ini juga dikatakan Jumaili sebagai bentuk kegagalan paham Mendikbud Muhajir atas kondisi pendidikan di pedesaan.
Pendidikan di desa dan di kota kondisinya sangat jauh berbeda baik dari segi fasilitas, keadaan orang tua siswa maupun psikologi anak didiknya.
"Sekolah-sekolah di desa rata-minim fasilitas, lapangan olahraga saja tidak punya, apalagi kantin, terus di mana mereka makan, di mana mereka habiskan waktu sampai jam 4 sore?" katanya dengan nada tanya.
"Begitu juga orang tua atau wali siswa yang rata-rata bekerja sebagai petani atau nelayan. Bagi petani dan nelayan, hari kerja itu dari Senin sampai Senin lagi, tentu berbeda dengan pegawai negeri sipil yang punya hari libur segala," jelasnya.
Anak-anak di desa usai sekolah bukan main-main seperti yang dikhawatirkan Muhadjir, tetapi justru kesempatan itu digunakan untuk membantu orang tua mereka bekerja.
"Jika alasanya 5 hari sekolah agar anak dan orang tua ada kesempatan bertemu, itu hanya cocok di anak-anak kota, anak anak desa justru bertemu setiap saat dengan orang tuanya, bahkan membantu orang tuanya bekerja," urainya