Surat Terbuka Lukman Hakim Saifuddin
Para netizen yang budiman,
Dunia maya kita sedang dilanda penyakit hati. Sampah informasi bertebaran secara masif tanpa verifikasi dan konfirmasi. Hoax, sas-sus, fitnah, dan hujatan bersahut-sahutan nyaris tiada henti. Informasi sumir yang sudah usang datang silih berganti.
Penyakit ini kini mewabah nyaris tak terperi. Menurut Kementerian Komunikasi dan Informatika RI, pada akhir 2016 terdapat sedikitnya 800 situs yang diduga menjadi produsen virus hoax, berita palsu, dan ujaran benci. Tersebar melalui Facebook, Twitter, hingga grup-grup Whatsapp, virus itu langsung menyerang otak mengoyak nalar insani. Bila terpapar virus ini, orang akan mengalami skizofrenia informasi yang berujung lunturnya nurani. Hilang kebijaksanaan akal dan keluhuran budi.
Padahal akal dan budi adalah penentu seseorang, mampu tegak dalam jalur kemuliaan ataukah terjerambab dalam kemudaratan. Makanya, penyakit hati sering disebut biang segala masalah. Orang cerdas jadi nampak beringas, orang berilmu terjebak saling berseteru, dan orang berbudi dicaci-maki. Jempol tangan bergerak tanpa kendali: mengamini setiap info tanpa verifikasi lalu menyebarkannya seolah semua orang peduli. Hal demikian bukan saja menghancurkan persahabatan tapi juga memundurkan peradaban.
Sayangnya, kondisi begini terjadi tanpa disadari. Persis ungkapan tokoh sufi Imam Al Ghazali, "Penyakit hati itu laksana belang di wajah seseorang yang tak punya cermin. Jika diberitahu orang lain pun, mungkin ia tak mempercayainya." Pada suasana batin tertentu, kebenaran tak lagi jadi penentu. Sebaliknya, segala alasan dicari untuk membenarkan tindakan yang telanjur salah.
Dalam kondisi begini, marilah mengingat sebuah kisah hikmah. Iblis awalnya dikenal sebagai makhluk yang paling hebat beribadah, tapi justru dilaknat oleh Tuhan Sang Pemberi Berkah. Sebabnya satu saja, hati iblis diliputi penyakit bernama sombong: merasa lebih mulia daripada Adam. Dalam kajian semantik, sombong didefinisikan menolak kebenaran dan meremehkan orang (Al-kibru batharul haqqi wa ghamtun naas). Semoga kita terhindar dari perilaku iblis yang sok suci.
Saudara-saudariku sekalian,
Kita semua sesungguhnya bersaudara. Saling terkait dalam tubuh seperti hubungan kaki, tangan, kepala, dan anggota badan lainnya. Jika salah satunya sakit, yang lain turut merasakannya. Karena itu, marilah berlatih empati agar selalu ingat pada keadilan Ilahi. Sesama saudara, janganlah mencaci jika tak ingin dibenci. Jangan pula memfitnah karena bakal terkena tulah. Bersikaplah bijak agar sadar dimana tempat berpijak.
Di zaman digital, persaingan global makin bersifat total. Jika ingin jadi bangsa handal, tiada pilihan kecuali meningkatkan kualitas diri secara optimal. Jadikan air bah informasi sebagai modal produktif menuju level lebih tinggi. Manfaatkan jejaring sosial untuk bersinergi meningkatkan produktivitas dan mencapai kesejahteraan bersama. Janganlah puas hanya menjadi generasi pemangsa berita bohong, penyantap kabar burung, atau penikmat konten negatif lainnya.
Di era kebebasan berpendapat dan bermedsos ria, berempati dan menggunakan rasa makin perlu dilakukan bersama. Setidaknya untuk menjaga kata-kata agar tak melukai sesama. Aksi menebar kabar hoax bukanlah sedekah yang berpahala. Sebaliknya, itu menabur benih keburukan yang akan kembali pada diri kita semua. Kegemaran copas (copy-paste) tidaklah terpuji karena bisa mematikan kreativitas semua kita. Di sisi lain memanipulasi pesan dan mendistorsi informasi untuk memantik emosi termasuk perbuatan tak terpuji. Berkomentar di medsos tanpa memperhitungkan dampaknya juga mestinya dihindari. Melatih empati, dengan berpikir bahwa orang lain bisa terluka karena kalimat kita di ranah maya, sama artinya melatih diri untuk menjaga hati.
Dunia maya sejatinya adalah cermin hati. Aktivitas yang terekam di data digital adalah gambaran dari isi pikiran yang biasanya tak nampak di dunia nyata. Ia ibarat terminal yang menghubungkan perbuatan kita di dunia dengan tempat berlabuh di akhirat sana. Rekam jejak buruk berujung di neraka, rekam jejak baik bermuara di surga. Alhasil, ketika memilih aktif di ranah maya, maka seringlah berkaca: ke mana arah kita sesungguhnya?
_Lukman Hakim Saifuddin_
_Menteri Agama_
Sumber : KBA Aswaja "Islamsantri.com"
Para netizen yang budiman,
Dunia maya kita sedang dilanda penyakit hati. Sampah informasi bertebaran secara masif tanpa verifikasi dan konfirmasi. Hoax, sas-sus, fitnah, dan hujatan bersahut-sahutan nyaris tiada henti. Informasi sumir yang sudah usang datang silih berganti.
Penyakit ini kini mewabah nyaris tak terperi. Menurut Kementerian Komunikasi dan Informatika RI, pada akhir 2016 terdapat sedikitnya 800 situs yang diduga menjadi produsen virus hoax, berita palsu, dan ujaran benci. Tersebar melalui Facebook, Twitter, hingga grup-grup Whatsapp, virus itu langsung menyerang otak mengoyak nalar insani. Bila terpapar virus ini, orang akan mengalami skizofrenia informasi yang berujung lunturnya nurani. Hilang kebijaksanaan akal dan keluhuran budi.
Padahal akal dan budi adalah penentu seseorang, mampu tegak dalam jalur kemuliaan ataukah terjerambab dalam kemudaratan. Makanya, penyakit hati sering disebut biang segala masalah. Orang cerdas jadi nampak beringas, orang berilmu terjebak saling berseteru, dan orang berbudi dicaci-maki. Jempol tangan bergerak tanpa kendali: mengamini setiap info tanpa verifikasi lalu menyebarkannya seolah semua orang peduli. Hal demikian bukan saja menghancurkan persahabatan tapi juga memundurkan peradaban.
Sayangnya, kondisi begini terjadi tanpa disadari. Persis ungkapan tokoh sufi Imam Al Ghazali, "Penyakit hati itu laksana belang di wajah seseorang yang tak punya cermin. Jika diberitahu orang lain pun, mungkin ia tak mempercayainya." Pada suasana batin tertentu, kebenaran tak lagi jadi penentu. Sebaliknya, segala alasan dicari untuk membenarkan tindakan yang telanjur salah.
Dalam kondisi begini, marilah mengingat sebuah kisah hikmah. Iblis awalnya dikenal sebagai makhluk yang paling hebat beribadah, tapi justru dilaknat oleh Tuhan Sang Pemberi Berkah. Sebabnya satu saja, hati iblis diliputi penyakit bernama sombong: merasa lebih mulia daripada Adam. Dalam kajian semantik, sombong didefinisikan menolak kebenaran dan meremehkan orang (Al-kibru batharul haqqi wa ghamtun naas). Semoga kita terhindar dari perilaku iblis yang sok suci.
Saudara-saudariku sekalian,
Kita semua sesungguhnya bersaudara. Saling terkait dalam tubuh seperti hubungan kaki, tangan, kepala, dan anggota badan lainnya. Jika salah satunya sakit, yang lain turut merasakannya. Karena itu, marilah berlatih empati agar selalu ingat pada keadilan Ilahi. Sesama saudara, janganlah mencaci jika tak ingin dibenci. Jangan pula memfitnah karena bakal terkena tulah. Bersikaplah bijak agar sadar dimana tempat berpijak.
Di zaman digital, persaingan global makin bersifat total. Jika ingin jadi bangsa handal, tiada pilihan kecuali meningkatkan kualitas diri secara optimal. Jadikan air bah informasi sebagai modal produktif menuju level lebih tinggi. Manfaatkan jejaring sosial untuk bersinergi meningkatkan produktivitas dan mencapai kesejahteraan bersama. Janganlah puas hanya menjadi generasi pemangsa berita bohong, penyantap kabar burung, atau penikmat konten negatif lainnya.
Di era kebebasan berpendapat dan bermedsos ria, berempati dan menggunakan rasa makin perlu dilakukan bersama. Setidaknya untuk menjaga kata-kata agar tak melukai sesama. Aksi menebar kabar hoax bukanlah sedekah yang berpahala. Sebaliknya, itu menabur benih keburukan yang akan kembali pada diri kita semua. Kegemaran copas (copy-paste) tidaklah terpuji karena bisa mematikan kreativitas semua kita. Di sisi lain memanipulasi pesan dan mendistorsi informasi untuk memantik emosi termasuk perbuatan tak terpuji. Berkomentar di medsos tanpa memperhitungkan dampaknya juga mestinya dihindari. Melatih empati, dengan berpikir bahwa orang lain bisa terluka karena kalimat kita di ranah maya, sama artinya melatih diri untuk menjaga hati.
Dunia maya sejatinya adalah cermin hati. Aktivitas yang terekam di data digital adalah gambaran dari isi pikiran yang biasanya tak nampak di dunia nyata. Ia ibarat terminal yang menghubungkan perbuatan kita di dunia dengan tempat berlabuh di akhirat sana. Rekam jejak buruk berujung di neraka, rekam jejak baik bermuara di surga. Alhasil, ketika memilih aktif di ranah maya, maka seringlah berkaca: ke mana arah kita sesungguhnya?
_Lukman Hakim Saifuddin_
_Menteri Agama_
Sumber : KBA Aswaja "Islamsantri.com"