Tabayyunews.com - Saat tempo hari Gus Mus dan Kiai Ma'ruf dihina dimaki-maki, kaum Nahdliyin sontak marah dan Ansor-Banser meradang mengancam-ancam. Namun, ketika kedua ulama itu memaafkan dan bahkan mengingatkan para Nahdliyin untuk menahan diri, seketika itu pula mereka mendengar dan taat. Mungkin luka lantaran hinaan terhadap kiai mereka tak benar-benar hilang di hati, tetapi mereka tahu bahwa memaafkan adalah pilihan terbaik tatkala pelaku sudah mohon maaf dan apalagi korban pun memaafkan.
Kini, seorang 'alim bernama TGH M. Zainul Majdi juga mengalami hal serupa. Ia diihina dan dimaki-maki oleh seseorang yang tak bisa mendidik lidahnya...
Tokoh yang akrab disapa Tuan Guru Bajang (TGB) ini adalah Gubernur Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) dua periode. Di NTB, Lombok khususnya, ia sangatlah dihormati. Keluasan wawasan dan kedalaman ilmu keagamaannya diakui. Ia adalah doktor lulusan Al-Azhar Mesir dan juga dikenal sebagai seorang hafizh (penghafal Qur'an). Dan yang terpenting lagi, ia adalah salah satu cucu dari Maulana Syaikh TGKH Zainuddin Abdul Madjid, tokoh ulama yang paling disegani dalam sejarah Muslim Lombok kontemporer. Ia juga tokoh puncak di Nahdlatul Wathan (NW), sebuah ormas keagamaan paling berpengaruh di Lombok yang didirikan sang kakek.
Dengan ketokohan sdemikian tak aneh bila msyarakat dan umat Islam, khususnya warga NW, seketika mendidih begitu mendengar sang tokoh dihina dimaki-maki. Hari-hari ini kemarahan yang meluap-luap memenuhi ruang sosial masyarakat NTB. Sentimen bernada rasisme berdesakan muncul ke permukaan. Amarah bertendensi agama mulai meruyak di jalanan...
Lalu, bagaimana sikap TGB sendiri terhadap hinaan itu dan respons keras warganya atas sang pelaku? Alangkah meneduhkan! Ia memaafkan sang penghina dan dengan sangat bijaksana ia menghimbau umat dan rakyatnya di NTB untuk bersabar dan tetap tenang. Kedalaman ilmu telah membuatnya berdada seluas samudera, bijaksana, teduh mendekap segala. Memaafkan adalah pengejawantahan dari kedalaman ilmu yang kuyup melumuri hatinya...
Ah, andai saja ia mau berlagak seperti kita-kita, melanjutkan amarah dan sok lebay membakar massa... Tentu bukan mustahil tragedi kemanusiaan macam 171 bakal kembali terulang, tragedi yang sempat mengoyak harmoni kebangsaan dan menghanguskan rajutan kebhinekaan di NTB saat euphoria Reformasi pada tahun 2000 dulu...#Salute4TGB
Semua kejadian itu mengingatkanku pada pitutur guru di pesantren dulu:
"Ilmu yang mendalam akan membuatmu mudah memaafkan... Lalu, kalau ada orang berilmu tapi masih suka marah dan sulit memaafkan, masih mudah terprovokasi atau malah suka memprovokasi, maka kemungkinannya dua: iImunya belum mendalam atau ilmunya tak bermanfaat..."
Juga pada nasihat Ayahku:
"Melayani makian orang bodoh hanya akan membuatmu tampak bodoh. Diam di hadapan mereka adalah sikap yang bijak..."
Oleh : Dr. Fawaizul Umam
Pimpinan Pondok Pesantren Miftahul Ulum Banyuwangi Jawa Timur
Kini, seorang 'alim bernama TGH M. Zainul Majdi juga mengalami hal serupa. Ia diihina dan dimaki-maki oleh seseorang yang tak bisa mendidik lidahnya...
Tokoh yang akrab disapa Tuan Guru Bajang (TGB) ini adalah Gubernur Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) dua periode. Di NTB, Lombok khususnya, ia sangatlah dihormati. Keluasan wawasan dan kedalaman ilmu keagamaannya diakui. Ia adalah doktor lulusan Al-Azhar Mesir dan juga dikenal sebagai seorang hafizh (penghafal Qur'an). Dan yang terpenting lagi, ia adalah salah satu cucu dari Maulana Syaikh TGKH Zainuddin Abdul Madjid, tokoh ulama yang paling disegani dalam sejarah Muslim Lombok kontemporer. Ia juga tokoh puncak di Nahdlatul Wathan (NW), sebuah ormas keagamaan paling berpengaruh di Lombok yang didirikan sang kakek.
Dengan ketokohan sdemikian tak aneh bila msyarakat dan umat Islam, khususnya warga NW, seketika mendidih begitu mendengar sang tokoh dihina dimaki-maki. Hari-hari ini kemarahan yang meluap-luap memenuhi ruang sosial masyarakat NTB. Sentimen bernada rasisme berdesakan muncul ke permukaan. Amarah bertendensi agama mulai meruyak di jalanan...
Lalu, bagaimana sikap TGB sendiri terhadap hinaan itu dan respons keras warganya atas sang pelaku? Alangkah meneduhkan! Ia memaafkan sang penghina dan dengan sangat bijaksana ia menghimbau umat dan rakyatnya di NTB untuk bersabar dan tetap tenang. Kedalaman ilmu telah membuatnya berdada seluas samudera, bijaksana, teduh mendekap segala. Memaafkan adalah pengejawantahan dari kedalaman ilmu yang kuyup melumuri hatinya...
Ah, andai saja ia mau berlagak seperti kita-kita, melanjutkan amarah dan sok lebay membakar massa... Tentu bukan mustahil tragedi kemanusiaan macam 171 bakal kembali terulang, tragedi yang sempat mengoyak harmoni kebangsaan dan menghanguskan rajutan kebhinekaan di NTB saat euphoria Reformasi pada tahun 2000 dulu...#Salute4TGB
Semua kejadian itu mengingatkanku pada pitutur guru di pesantren dulu:
"Ilmu yang mendalam akan membuatmu mudah memaafkan... Lalu, kalau ada orang berilmu tapi masih suka marah dan sulit memaafkan, masih mudah terprovokasi atau malah suka memprovokasi, maka kemungkinannya dua: iImunya belum mendalam atau ilmunya tak bermanfaat..."
Juga pada nasihat Ayahku:
"Melayani makian orang bodoh hanya akan membuatmu tampak bodoh. Diam di hadapan mereka adalah sikap yang bijak..."
Oleh : Dr. Fawaizul Umam
Pimpinan Pondok Pesantren Miftahul Ulum Banyuwangi Jawa Timur
Sumber : Islam Santri