Tabayyunews.com - MBOJO Samawa, dan Sasak ialah tiga bangsa besar di NTB sudah diketahui umum. Namun yang publik tidak sadari sampai sekarang ialah hanya bangsa Sasak sebagai satu-satunya bangsa anomali dari ketiga bangsa tersebut. Contoh sederhana, Rinjani sebagai gunung berapi nomor dua tertinggi di Indonesia seharusnya melahirkan peradaban tinggi, kemakmuran dan kekayaan, namun justru menimbulkan anomali kesengsaraan sosial dan kemiskinan ekonomi. Dalam jagad mitos, Rinjani sebagai salah satu pusat musyawarah agung para raja gaib, namun tetap saja mencetuskan anomali keterbelakangan politik dan kesadaran kolektif masyarakat Sasak pemiliknya: Sasak. Aduh Sasak. Dalam hal ini, bangsa Sasak telah mengukuhkan konsep anomali sebagai bangsa yang menyimpang dari keadaan sebenarnya yang patut didapatkan.
Berikutnya, dalam realitas sosial, politik, dan budaya pun bangsa Sasak tetap mengukuhkan diri sebagai satu-satunya bangsa anomali. Bagaimana tidak? Perhatikan saja tulisan singkat ini. Era 1970-1980 ialah dikenal sebagai era keemasan Mudjitahid. Pulang dari Yogyakarta sebagai Sasak terpelajar, Mudjitahid berkiprah dalam pembangunan sosial.Melalui jabatannya sebagai pegawai pemerintah, mula-mula Mudjitahid mengubah perilaku Lombok Utara yang “dayen gunung” menjadi masyarakat yang berani melihat dunia di balik gunung. Menariknya, di tengah kekuasaan Orde Baru, Mudjitahid terpilih sebagai Bupati di Lombok Barat. Ini menjadi luar biasa karena dua hal. Masa itu ialah di mana tentara menjadi satu-satunya pemilik otoritas atas kavling kepala pemerintahan di seluruhIndonesia. Sipil dapat menjadi bupati mesti mendapatkan restu tentara. Sipil mejadi kelas ketiga setelah tentara dan pengusaha. Bahkan gubernur yang mengangkatnya ialah tentara. Mudjitahid sipil menjadi bupati ialah sejarah besar di era pencipta tunggal sejarah ialah tentara, khususnya di Lombok.
Terlebih lagi Mudjitahid ialah orang Sasak. Bangsa budak yang lebih dari lima ratus tahun menjadi terjajah. Bahkan ketika Indonesia sudah merdeka, orang Sasak tak berani mengangkat kepala di hadapan Jawa. Akibatnya, hampir semua simbol budaya Sasak dalam bahasa dan istilah lainnya mencerminkan ketakutan mereka terhadap Jawa. Sebagai ilustrasi, orang paling kaya di Rensing Lombok Timur mengalami gagal paham sejarah ketika ia mengawinkan anaknya dengan pendatang dari Jawa yang hanya pandai main volly dan jual bakso. Akibatnya, ia me”neraka”kan anak perempuannya karena ternyata pendatang Jawa itu ialah orang paling miskin di kampung asalnya yang, kemudian diangkat derajatnya sangat tinggi di Rensing hanya karena Jawa. Dalam situasi inilah Mudjitahid menjadi bupati di Lombok Barat. Ia diangkat oleh orang Jawa dengan tantangan yang luar biasa, mampukah orang Sasak mengangkat mukanya sendiri?
Mudjitahid menjawab. Darahnya mendidih sebagai orang Sasak karena dia lahir dari perjanjian darah semasa di Yogyakarta bersama Lalu Azhar dan Haji Abdurrahim: membangun Sasak bersama meskipun berbeda warna bendera. Mudjitahid menunjukkan bahwa orang Sasak dapat menjadi pemimpin lebih baik dari Jawa jika diberikan kesempatan. Kurang dari setahun dalam kepemimpinannya, Lombok Barat menjadi buah bibir nasional. Penting ditegaskan dalam konteks ini ialah nasional sebagai pusat pada masa itu ialah diumpamakan lebih mudah mendapatkan surga daripada restu nasional. Namun Mudjitahid, dengan gerakan jumat bersihnya mampu menciptakan wacana nasional. Melalui jumat bersih, Mudjitahid memperkenalkan budaya ngamari atau ngayo sebagai produk bangsa Sasak yang dapat dijadikan model kepemimpinan yang menggerakkan sekaligus menyadarkan.
Ngamari atau ngayo ini ialah bersilaturahim, berkunjung, bertamu ke orang lain tanpa tendensi apapun dan bersih dari pencitraan yang palsu. Baik yang berkunjung dan dikunjungi berada dalam level yang sama sehingga terjadilah peristiwa kemanusiaan yang tinggi. Mudjitahid telah melakukan ngamari ini dengan totalitas tinggi ketika para penguasa sekarang ini masih menjadi pedagang, masih sekolah, masih menyembah kepada Orde Baru. Ia melakukannya tanpa diikuti oleh ratusan kamera dan puluhan stasiun televisi yang akan mencitrakannya menjadi manusia seolah-olah: seolah-olah sederhana padahal tidak samasekali. Seolah-olah merakyat padahal bukan. Seolah-olah bekerja padahal sedang mencitrakan diri. Mudjitahid melakukannya sebagai manusia yang penuh kesadaran melihat air mata dan wajah lusuh orang Sasak yang ditantang oleh Jawa menjadi pemimpin orangnya sendiri.
Melalui ngamari, Mudjitahid mengubah citra Lombok sebagai pulau maling menjadi benar-benar pulau seribu masjid. Ia mendatangi pentolan-pentolan maling dan menempatkan mereka sebagai manusia. Maling bagi Mudjitahid bukan pekerjaan, maling ialah dampak dari masalah besar bangsa Sasak: kemiskinan dan keterjajahan. Mudjitahid membongkar kesadaran lalu menggerakkan mereka sebagai manusia yang mandiri. Tidak lebih satu tahun, Lombok Barat dinyatakan aman hampir seratus persen dari maling. Melalui ngamari, Mudjitahid menjawab masjid sebagai antitesa kejahatan orang Sasak pada masa itu dengan cara bersafari sholat subuh di banyak masjid dalam setiap sholat subuh. Dampak dari gerakan ini tidak hanya melahirkan keseimbangan imani melainkan kesadaran ekonomi orang Sasak. Meskipun belum berhasil memusnahkan kemiskinan, setidaknya gerakan Mudjitahid ini telah memberikan kemajuan pesat dalam konteks orang Sasak pada masa itu.
Seiring pegerakan yang melaju kencang itu, Mudjitahid menjadi wacana nasional sebagaimana yang sudah disinggung di atas. Ia mendapatkan banyak penghargaan nasional. Undangan menjadi bupati teladan dan bupati pembaharu silih berganti datang. Sasak yang melekat dalam dirinya lambat laun mulai dibincangkan orang. Menariknya, Jawa yang mengangkatnya menjadi bupati pun memberikan penghargaan dan mengangkat tangan tanda hormat seakan ingin mengatakan bahwa orang Sasak tidak semuanya bodoh. Budaya Sasak yang dianggap lahir dari kaum budak, kaum yang bermental inferior jika diangkat menjadi konsep pambangunan daerah bahkan nasional dengan konsep dan aplikasi yang jitu akan menghasilkan kegemelingan. Dalam hal ini, ngamari sebenarnya ialah karakter budaya nusantara, di mana hubungan kekerabatan yang setara ialah modal budaya dan sosial untuk menguatkan ekonomi dan politik.
Seiring dengan gagasan menasionalkan Sasak itu, Mudjitahid tidak lupa juga membangun kesadaran regenerasi kepemimpinan. Dalam hal ini, Mudjitahid telah mulai merombak total watak feodalitsik elite Sasak melalui cara yang paling sederhana. Ia lebih mengedepankan statusnya sebagai haji dibandingkan dengan status sosialnya sebagai “Lalu”. Banyak elite Sasak menentangnya. Mudjitahid dianggap sebagai malin kundang bangsawan Sasak. Namun Mudjitahid tetap setia pada kesetaraan. Baginya sikap dan sifat feodalistik hanya akan menambah beban kesengsaraan orang Sasak dan semakin menjauhkan mereka dari realitas. Maka konsep regenerasi kepemimpinan Mudjitahid bebas dari unsur-unsur kebangsawanan dan kejajarkarangan. Bukan karena Mudjitahid tidak menghormati kebangsawanannya, tetapi karena membangun masa depan Sasak memerlukan keberanian pengorbanan rasa bangga terhadap kebangsawanan itu. Hasilnya ialah banyak generasi sesudahnya menjadi salah satu era pemimpin Sasak yang menonjol.
Kembali kepada Sasak sebagai bangsa anomali. Penjabaran di atas tidak pelak lagi menunjukkan bahwa Sasak hebat. Bahkan dalam masa keterjajahan pun, sebenarnya Sasak hebat. Pada masa kuasa Jawa dan sentralistik Orde Baru di bawah kendali tentara, Mudjitahid dapat menunjukkan bangsa budak yang memimpin. Hebatnya lagi, kaum penguasa sejarah itu mengakui kehebatan Sasak yang terepresentasi pada diri Mudjitahid. Mereka tidak ragu dan tidak merasa rendah diri memberikan sederetan penghargaan kepada Mudjitahid. Namun dasar bangsa anomali. Pada akhirnya, puncak dari perjuangan darah di atas kesadaran total sebagai orang Sasak itu ialah anomali. Sejarah Mudjitahid ditenggelamkan oleh bangsanya sendiri. Karena bangsanya ialah bangsa anomali, maka semua catatan sejarah gemilang Mudjitahid dihapus oleh kebodohan sekaligus kelupaan. Akibatnya, bangsanya sendiri menjadi buta sebuta-butanya terhadap tanda masa sejarah baru yang telah dibuatnya. Oleh bangsanya sendiri, Mudjitahid tidak diakui sebagai pemimpin bersama. Ia hanya diletakkan sebagai orang Kuripan. Untuk memberikan sedikit penghargaan, ia ditempatkan sebagai bapak Lombok Barat. Namun pada akhirnya, Lombok Barat pun mengalami gagal paham secara kolektif karena kali ini ialah Lombok Barat yang tiada Mudjitahid. Keadaan yang paling memilukan ialah, saat ini Mudjitahid menjadi pejuang sunyi. Hanya untuk mewariskan gagasan pembangunan yang di masa sangat sulit dahulu, di masa orang Sasak masih sepenuhnya dipandang kelas rendah dan kelompok sosial budak diberikan penghargaan tertinggi oleh kaum superior karena memang level gagasannya ialah nasional, Mudjitahid kini harus berjuang sendiri mengumpulkan penulis. Padahal seharusnya bangsanya sendiri yang menjadi terdepan. Dapatlah dibayangkan, bila kehebatan Mudjitahid yang mendapatkan penghargaan di masa Orde Baru jadi ukuran, hampir di setiap sudut dijumpai basis gerakan semacam Mudjitahid Institute yang berperan membesarkan Mudjitahid. Namun dasar bangsa anomali. Mudjitahid mereka tiadakan. Dasar!
Lantas apa hubungannya dengan TGB? Sering juga orang Sasak ini diberikan kesempatan bangkit dari sejarah kebudakannya. Bahkan di jiwa terdalam semua orang Sasak, pasti ditemukan kebanggaan sebagai orang Sasak jika bercermin pada cerita semacam kisah Mudjitahid. Namun sayang, kebanggaan itu masih di ranah laten. Masih deras di bawah arus ketidaksadaran. Masih angkuh dalam derasnya individulitas. Masih sombong di amuknya teritori lauk daye tengah timuk. Belum menjadi kesadaran dan kesepakatan kolektif untuk melahirkan momentum sejarah bersama, yang disepakati bersama dan untuk kepentingan bersama secara setara. Akibatnya, TGB yang entah secara sadar atau tidak sadar meneruskan kegemilangan orang Sasak sebagaimana masa Mudjitahid yang, dapat dilihat dari corak dan karakter yang hampir serupa: pembongkaran kesadaran dan membangun gerakan bermental superior. Bahkan TGB menyempurnakannya dengan pendekatan keagamaan dengan metode yang disesuaikan dengan zaman belum dibuat sebagai pemimpin bersama orang Sasak. Orang Sasak belum melakukan gerakan kesepatakan bersama untuk tidak mengulangi sejarah anomali bangsa sendiri.
Ternyata, dalam melihat Mudjitahid dan TGB sebagai sebuah kesempatan menjadi bangsa superior, orang Sasak masih angkuh dengan dongeng-dongeng palsu keluarga masing-masing: bahwa keluarga kitalah yang terbaik, bukan keluarga dia. Bahwa gubuk kitalah yang paling maju, bukan gubuk dia. Bahwa kelurga kita inilah yang mendirikan Sasak, bukan keluarga dia dan jutaan lagi dongeng-dongeng palsu yang beratus-ratus tahun menyesatkan orang Sasak di dalam kegelapan kebudakan. Hingga usia senja Mudjitahid dan menjelang berakhirnya era TGB di NTB, orang Sasak masih lebih banyak menghabiskan waktu untuk berdebat tentang mana sapuk yang benar, mana dodot yang salah. Masih sibuk dengan urusan omong kosong nyongkolan apakah bermanfaat atau tidak. Masih sibuk mengurus merarik adat dan merarik agama. Masih lebih banyak menghabiskan energi untuk mengatakan bahwa tuan guru kitalah yang paling hebat bukan tuan guru dia. Masih berpesta pora pada obrolan kosong tentang siapa yang paling berbudaya dan siapa yang melanggar adat.
Kasihan sekali orang Sasak. Orang yang mampu mengguncang Jawa di masa Orde Baru dan seorang intelektual muda yang berhasil menggetarkan Indonesia belum juga membuat mereka sadar untuk bersatu guna menyepakati pemimpin bersama mereka. Mudjitahid dan TGB pastilah bukan manusia sempurna, pasti pula banyak kekurangan, pasti juga tidak dapat memuaskan semua orang, tapi bangsa besar memerlukan pemimpin bersama. Demi sejarah Sasak, orang Sasak mesti bijak mengakui bahwa mereka telah memberikan warna Indonesia di tengah ketidaksempurnaan mereka.
Sungguh, ketika anomali itu terus berulang, maka Sasak memang diciptakan oleh tangan mereka sendiri sebagai bangsa budak. Dan ketika ada orang Sasak dapat menjulang tinggi, sungguh karena getih darahnya sendiri, bukan karena arus deras kebangsaan Sasak secara kolektif.
Rupanya, bangsa Sasak ini masih mau kekal menjadi bangsa anomali.(*)
Oleh: Dr. Salman Alfarisi (Dosen Fakulti Muzik dan Seni Persembahan UPSI Malaysia)
Sumber : Lombok Post
Image : AbyRaden