Komentar atas tulisan Denny JA: Demokrasi Pancasila yang Diperbaharui.
Setiap kali kita menghadapi krisis politik, acuan penyelesaiannya adalah Pancasila. Seolah-olah ia adalah Panacea, diminta “turun tangan” mengobati segala penyakit. Tetapi realisasi dari “turun tangan” itu pernah justru sangat menyakitkan: Orde Baru sangat ringan tangan menghukum oposisi dengan Pancasila.
Memang, dalam sejarah politik kita, Pancasila lebih dipraktikkan sebagai ideologi penutup kritik, ketimbang sebagai pembuka dialog. Bahkan setelah reformasi, ideologi ini terasa atavistik, karena klaim Sukarnoistik-nya tampil dominan.
Kini, di hari-hari ini, ia juga terasa eksklusif karena dijadikan batas untuk mendefinisikan pendukung rezim dan pengkritiknya. Bahkan diperluas menjadi penentu: Siapa yang pluralis, siapa yang fundamentalis. Pancasila jadi alat ukur politik. Alat ukur yang kaku bagi kebhinekaan.
Akibatnya kelenturan kulturalnya hilang. Ia mengalami reifikasi. Lalu, ada upaya melenturkan kembali hari-hari ini.
II
Terbuka atau terselubung, ada psikologi lama yang kini diedarkan lagi di masyarakat: Pengkritik rezim adalah anti pluralisme, juncto Pancasila. Psikologi ini tumbuh dari arogansi yang memandang kritik kepada rezim sebagai ancaman pada kebinekaan.
Suatu psikologi yang tadinya menyudutkan, lalu kini membelah masyarakat, karena kalkulasi politik yang terbalik di Ibukota. Intelektualisasi bahkan diperlihatkan untuk menebalkan batas antara pendukung dan pengkritik rezim. Dibungkus dengan slogan-slogan teoretis, Pancasila dijadikan alat “fit and proper test” kebhinekaan. Suatu metode naif dalam berpolitik.
Bila pada zaman Orba teknik ini dipraktikkan dengan bantuan kaum intelektual yang dikendalikan negara, di era ini teknik yang sama justru dikerjakan oleh elemen-elemen masyarakat sipil (yang juga terpelajar) yang panik terhadap gejala delegitimasi rezim.
Semacam voluntarisme kekanak-kanakan memang sedang merebak di kalangan ini karena gugup dan gagap melihat kapasitas rezim yang ternyata tak cukup “fit and proper”.
Reaksi protektif itu menghasilkan sikap eksklusivisme. Sikap inilah yang justru makin menutup “percakapan kewarganegaraan” untuk mencari “cara hidup bersama” melalui Pancasila.
III
Memang hanya “cara hidup bersama” itu yang maksimal dapat diupayakan melalui Pancasila. Bukan “tujuan hidup bersama”. Jadi, obsesi untuk merumuskan “tujuan hidup bersama” adalah fatalistik karena Pancasila itu sendiri bukan suatu ideologi yang koheren. Hermeneutiknya menyebar ke mana-mana. Bahkan bisa paradoksal.
Misalnya, preskripsi “Ketuhanan” dalam sila ke-1 dapat dibatalkan oleh prasyarat “Kerakyatan” pada sila ke-4. Secara filosofis “Ketuhanan” dan “Kerakyatan” adalah dua imperatif yang bertolak belakang. Sangat unik tentu bila sintesanya adalah: “Kerakyatan yang berketuhanan” atau “Ketuhanan yang berkerakyatan”. Tidak saja unik, tapi juga aneh.
Apakah kita siap masuk dalam suatu debat konseptual yang tajam seperti itu demi memperoleh kedalaman diskursus tentang Pancasila, atau kita hindari itu demi dalil “harga mati”?
Sebaliknya, bila Pancasila dibebaskan terbuka mengalami penafsiran, maka semua ideologi politik besar dapat memilih bermukim di salah satu silanya. Hizbut Tahrir misalnya, bila mau, dapat mengajukan argumen bahwa sebagai aspirasi politik ia sejalan dengan sila ke-1 dan sila ke-5. Islam mencakup aspek teologis sekaligus sosiologis.
Demikian halnya penganut Marxisme. Ia berhak mendalilkan aspirasi sosialnya sebagai sejalan dengan jiwa sila ke-2 dan ke-5, misalnya. Tetapi bagaimana mungkin itu dimungkinkan, bila yang mungkin hanyalah versi “bukan ini, bukan itu”, versi rezim yang kini diikuti oleh para intelektualnya, yang sebetulnya bertujuan “politics of exclusion”. Bukan negara agama tapi bukan negara sekuler, bebas berbeda tapi bukan liberal. Titik!
IV
Hambatan untuk memulai suatu pemaknaan baru dan pengayaan Pancasila adalah mental atavistik yang kini beredar justru di kalangan terpelajar. Jadi, upaya membuka dialog politik dengan platform Pancasila, sudah dibatasi sejak awal oleh kondisi eksklusivisme tadi.
Padahal, suatu dialog otentik membutuhkan kesetaraan posisi warga negara. Tak ada kejujuran mencapai konsensus bila satu pihak menyandang stigma fundamentalis, dan yang lain menikmati arogansi pluralis.
Saya simpulkan begini: Pancasila bukan ideologi yang koheren. Ia mengandung dalam dirinya kondisi hermeneutik. Justru bagus untuk memulai percakaan demokratis. Tetapi mental atavistik justru terbawa dalam cara menafsirkannya hari-hari ini. Justru buruk untuk mengawali percakapan demokratis itu.
Tetapi, hal yang lebih urgen sebetulnya bukan soal kapasitas Pancasila sebagai ideologi, melainkan praktik material kehidupan berbangsa. Ideologi tak pernah mampu menghasilkan keadilan.
Kebijakan negaralah yang harus menyediakannya. Dan kebijakan itu adalah hasil dari kapasitas konseptual kepala negara.
Oleh : Rocky Gerung
SUMBER : Politiktoday
Setiap kali kita menghadapi krisis politik, acuan penyelesaiannya adalah Pancasila. Seolah-olah ia adalah Panacea, diminta “turun tangan” mengobati segala penyakit. Tetapi realisasi dari “turun tangan” itu pernah justru sangat menyakitkan: Orde Baru sangat ringan tangan menghukum oposisi dengan Pancasila.
Memang, dalam sejarah politik kita, Pancasila lebih dipraktikkan sebagai ideologi penutup kritik, ketimbang sebagai pembuka dialog. Bahkan setelah reformasi, ideologi ini terasa atavistik, karena klaim Sukarnoistik-nya tampil dominan.
Kini, di hari-hari ini, ia juga terasa eksklusif karena dijadikan batas untuk mendefinisikan pendukung rezim dan pengkritiknya. Bahkan diperluas menjadi penentu: Siapa yang pluralis, siapa yang fundamentalis. Pancasila jadi alat ukur politik. Alat ukur yang kaku bagi kebhinekaan.
Akibatnya kelenturan kulturalnya hilang. Ia mengalami reifikasi. Lalu, ada upaya melenturkan kembali hari-hari ini.
II
Terbuka atau terselubung, ada psikologi lama yang kini diedarkan lagi di masyarakat: Pengkritik rezim adalah anti pluralisme, juncto Pancasila. Psikologi ini tumbuh dari arogansi yang memandang kritik kepada rezim sebagai ancaman pada kebinekaan.
Suatu psikologi yang tadinya menyudutkan, lalu kini membelah masyarakat, karena kalkulasi politik yang terbalik di Ibukota. Intelektualisasi bahkan diperlihatkan untuk menebalkan batas antara pendukung dan pengkritik rezim. Dibungkus dengan slogan-slogan teoretis, Pancasila dijadikan alat “fit and proper test” kebhinekaan. Suatu metode naif dalam berpolitik.
Bila pada zaman Orba teknik ini dipraktikkan dengan bantuan kaum intelektual yang dikendalikan negara, di era ini teknik yang sama justru dikerjakan oleh elemen-elemen masyarakat sipil (yang juga terpelajar) yang panik terhadap gejala delegitimasi rezim.
Semacam voluntarisme kekanak-kanakan memang sedang merebak di kalangan ini karena gugup dan gagap melihat kapasitas rezim yang ternyata tak cukup “fit and proper”.
Reaksi protektif itu menghasilkan sikap eksklusivisme. Sikap inilah yang justru makin menutup “percakapan kewarganegaraan” untuk mencari “cara hidup bersama” melalui Pancasila.
III
Memang hanya “cara hidup bersama” itu yang maksimal dapat diupayakan melalui Pancasila. Bukan “tujuan hidup bersama”. Jadi, obsesi untuk merumuskan “tujuan hidup bersama” adalah fatalistik karena Pancasila itu sendiri bukan suatu ideologi yang koheren. Hermeneutiknya menyebar ke mana-mana. Bahkan bisa paradoksal.
Misalnya, preskripsi “Ketuhanan” dalam sila ke-1 dapat dibatalkan oleh prasyarat “Kerakyatan” pada sila ke-4. Secara filosofis “Ketuhanan” dan “Kerakyatan” adalah dua imperatif yang bertolak belakang. Sangat unik tentu bila sintesanya adalah: “Kerakyatan yang berketuhanan” atau “Ketuhanan yang berkerakyatan”. Tidak saja unik, tapi juga aneh.
Apakah kita siap masuk dalam suatu debat konseptual yang tajam seperti itu demi memperoleh kedalaman diskursus tentang Pancasila, atau kita hindari itu demi dalil “harga mati”?
Sebaliknya, bila Pancasila dibebaskan terbuka mengalami penafsiran, maka semua ideologi politik besar dapat memilih bermukim di salah satu silanya. Hizbut Tahrir misalnya, bila mau, dapat mengajukan argumen bahwa sebagai aspirasi politik ia sejalan dengan sila ke-1 dan sila ke-5. Islam mencakup aspek teologis sekaligus sosiologis.
Demikian halnya penganut Marxisme. Ia berhak mendalilkan aspirasi sosialnya sebagai sejalan dengan jiwa sila ke-2 dan ke-5, misalnya. Tetapi bagaimana mungkin itu dimungkinkan, bila yang mungkin hanyalah versi “bukan ini, bukan itu”, versi rezim yang kini diikuti oleh para intelektualnya, yang sebetulnya bertujuan “politics of exclusion”. Bukan negara agama tapi bukan negara sekuler, bebas berbeda tapi bukan liberal. Titik!
IV
Hambatan untuk memulai suatu pemaknaan baru dan pengayaan Pancasila adalah mental atavistik yang kini beredar justru di kalangan terpelajar. Jadi, upaya membuka dialog politik dengan platform Pancasila, sudah dibatasi sejak awal oleh kondisi eksklusivisme tadi.
Padahal, suatu dialog otentik membutuhkan kesetaraan posisi warga negara. Tak ada kejujuran mencapai konsensus bila satu pihak menyandang stigma fundamentalis, dan yang lain menikmati arogansi pluralis.
Saya simpulkan begini: Pancasila bukan ideologi yang koheren. Ia mengandung dalam dirinya kondisi hermeneutik. Justru bagus untuk memulai percakaan demokratis. Tetapi mental atavistik justru terbawa dalam cara menafsirkannya hari-hari ini. Justru buruk untuk mengawali percakapan demokratis itu.
Tetapi, hal yang lebih urgen sebetulnya bukan soal kapasitas Pancasila sebagai ideologi, melainkan praktik material kehidupan berbangsa. Ideologi tak pernah mampu menghasilkan keadilan.
Kebijakan negaralah yang harus menyediakannya. Dan kebijakan itu adalah hasil dari kapasitas konseptual kepala negara.
Oleh : Rocky Gerung
SUMBER : Politiktoday