MATARAM- Ahmad Suaedy selaku pemateri diskusi tiga seri buku hasil penelitian lapangan yang sejak awal dirancang untk topik kajian tentang dialog dan perdamaian yang diselenggarakan pada hari sabtu 25/11/2017 di Kedai Kalikuma-Ampenan. Menilai bahwa masing-masing kelompok baik itu korban maupun pelaku konflik SARA, sebenarnya memiliki potensi untuk mempertahankan kerukunan berupa nilai-nilai tradisi budaya.
Hanya saja derasnya arus informasi propoktif yang tidak diimbangi dengan pemahaman yang komperhensif tentang pentingnya merawat kerukunan hidup dalam keragaman, mengikis potensi-potensi tradisi tersebut. Hingga menimbulkan situasi yang resisten ditengah masyarakat.
Selain menawarkan bacaan berupa hasil studi kasus kekerasan akibat isu SARA. Buku tersebut juga menawarkan solusi atau penyelesaian konflik dengan cara merevitalisasi tradisi dan mengupayakan dialog multidimensi.
“Dalam buku ini anda akan menemukan bahwa, ditengah konflik yang sedang berlangsung, Tajul Muluk ketua Syiah itu masih menjalin komunikasi dengan keluarganya via sms” katanya, menjelaskan fakta empiris hasil studi.
Penerbitan dan penelitian tiga seri buku tersebut diprakarsai oleh beberapa lembaga yang kosen terhadap isu-isu perdamaian seperti The ASIA FONDATION, FORD FONDATION dan Abdurrahman Wahid Centre-Universitas Indonesia (WAC-UI).
Masih dalam kesempatan yang sama, di hadapan puluhan peserta diskusi yang terdiri dari kalangan mahasiswa, akademisi (Dosen UIN Mataram) dan Kelompok Pemuda NU. Ahmad Suaedy menjelaskan juga bahwa betapa penting isu-isu perdamaian, pluralisme dan toleransi terus digaungkan untuk memelihara kerukunan hidup dalam keragaman. Dan mendorong peserta diskusi untuk melakukan studi atau kajian yang sama di wilayah NTB guna meng-konter isu-isu SARA yang mengancam. Hingga masyarakat NTB benar-benar mewujudkan masyarakat inklusif.
“Ketika kita membangun studi islam dengan cara ini secara tidak langsung kita sedang membangun sebuah studi dari bawah” Tambah Ahmad Suaedy menjelaskan lebih lanjut buku-buku tersebut. [LS]